Tiga syarat tersebut, yaitu pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU.
Kedua, UU yang dibutuhkan itu belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai;
Ketiga, kekosongan hukum itu tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU dengan prosudur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Mengacu pada putusan itu, dia mengungkapkan, MK berpendapat pengertian kegentingan yang memaksa tidak dimaknai sebatas hanya ada keadaan bahaya sebagaimana dimaksud ketentuan pasal 12 UUD 1945.
Alasan-alasan yang menjadi pertimbangan presiden mengeluarkan Perppu agar lebih didasarkan kondisi objektif bangsa dan negara yang tercermin di konsideran menimbang dari Perppu yang bersangkutan, dan bukan berdasarkan pertimbangan ‘imanijer’.
Dia menambahkan, pembentukan Perppu memang ditangan presiden dan berdasar penilaian subjektif presiden, namun bukan berarti hal itu secara absolut merupakan suatu kewenangan tampa batasan ‘retriksi yuridis’.
Tetapi penilaian subjektif presiden sebagai ‘head of state’ mutlak didasarkan keadaan objektif dengan batasan konstitusional yaitu tiga syarat sebagai parameter keadaan kegentingan yang memaksa sebagaimana telah ditentukan putusan MK.
"Dengan demikian presiden tidak dapat mengunakan kewenangan eksklusif berdasarkan pasal 22 mengeluarkan regulasi mendesak, sebab tidak sejalan dengan prinsip ‘state emergency’” tambahnya.