TRIBUNNEWS.COM - Pengamat Intelijen dan Keamanan Universitas Indonesia (UI) Stanislaus Riyanta mengungkapkan, media sosial menjadi penyebab utama kalangan anak muda mudah terpapar radikalisme.
Berbeda dengan kelompok radikalisme zaman dulu yang merekrut calon terorisme secara tatap muka.
Kelompok perekrut terorisme masa kini akan menyebarkan konten-kontennya di internet secara acak.
Ketika ada anak yang tertarik dengan konten radikalisme tersebut, perekrut akan menghubungi calon teroris.
Stanislaus pun menyayangkan pihak pemerintah yang tidak menindaklanjuti dengan tegas hal tersebut.
"Saya heran, kenapa tidak ada langkah yang spesifik untuk melakukan blokir terhadap konten-konten tersebut (radikalisme), kita akan blokir satu sekarang akan muncul seribu," ungkap Stanislaus Riyanta dilansir dari YouTube Najwa Shihab (13/11/2019).
Selain itu kurangnya pengawasan dari orangtua juga menjadi faktor anak muda terkena radikalisme.
Biasanya orangtua yang menganggap anaknya terlihat baik-baik saja, akan kaget saat mengetahui anaknya terlibat aksi terorisme.
Stanislaus memberikan contoh, pelaku pengeboman di Gereja Katolik Medan, Sumatera Utara (28/8/2019) yakni pelajar yang mempunyai masalah di sekolahnya.
Kemudian pelaku mencari di internet mengenai cara membuat bom.
Pelaku memang tidak bergabung dengan kelompok manapun, pelaku ini kan menjadi pelaku yang merencanakan sendiri dan melakukan aksinya sendiri.
Hal itu justru yag sangat berbahaya, karena tidak dapat terdeteksi.
Mendukung pendapat Stanislaus, Direktur Eksekutif Maarif Institute, Abdul Rohim Ghazali mengatakan, ketidakpedulian terhadap paham radikalisme juga menjadi penyebab kalangan anak muda rentan terpapar radikalisme.
"Kepala sekolah tidak peduli, orang tua siswa juga tidak peduli, jadi ynag masuk adalah perekrut," kata Abdul.