Menurutnya, program sertifikasi perkawinan bukan hal yang dapat diwajib.
"Kalau (dijadikan) kewajiban itu berarti menambahkan suatu hal tertentu yang sebenarnya tidak bisa dijadikan sesuatu yang wajib," ujar Ahmad, seperti yang dikutip dari Kompas.com, Jumat (15/11/2019).
Ahmad mengungkapkan, mewajibkan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa diwajibkan justru akan menuai komplain.
"Saya kira lebih baik orang didorong untuk bersedia (menjalani program) dengan menjelaskan apa manfaat dari program itu, " lanjutnya.
Meski demikian, Ahmad menyebut Komnas HAM tetap mempersilakan pemerintah merealisasikan rencana tersebut.
Namun ia memberi catatan, program sertifikasi perkawinan harus memiliki tujuan yang jelas jika akan dijalankan.
"Kalau tujuannya dalam rangka supaya anak muda sebelum menikah itu memahami peran suami dan istri, peran keluarga, oke, enggak ada masalah itu," tegasnya.
Komnas HAM pun mengajukan sejumlah syarat terkait pelaksanaan program sertifikasi perkawinan.
Syarat tersebut di antaranya, Komnas HAM mensyaratkan program tersebut hanya dapat dijalankan selama tidak memberatkan calon mempelai.
Selanjutnya, pemerintah diminta menyusun teknis yang jelas sebelum melaksanakan rencana sertifikasi perkawinan.
"Termasuk sebaiknya dibiayai oleh pemerintah. Sebab yang membuat ide adalah pemerintah sehingga harus menjadi tanggung jawab pemerintah, " tutur Ahmad.
Tidak hanya itu, Ahmad memberi syarat durasi pelaksanaan kelas pranikah harus disepakati bersama antara penyelenggara dengan calon pengantin.
Kemenag Beri Dukungan
Sebelumnya, Menko PMK, Muhadjir Effendy, menyebutkan program sertifikasi perkawinan akan mulai dilaksanakan 2020 mendatang.