Bung Karno (saat itu) diundang satu sekolah oleh perguruan Cikini untuk membuka bazar. Bazar sudah siap sedia untuk menyambut presiden datang. Presiden itu turun dari mobil, anak-anak sekolah, guru dan lain sebagainya begitu turun (ada ledakan). Mereka itu islam sempit pikiran yang hanya melihat paling mulia adalah yang mulia nabi Muhammad dan hanya boleh Alquran dan hadis. Lain pengetahuan, lain ilmu atau apa itu kafir, toghut.
Jadi mereka itu dalam tulisannya bendera atau bendara dibawah bendera revolusi. Kalau mereka itu mereka yang Islam sempit pikiran, yang kelompoknya bung Karno menyebutnya takfiri, mereka itu royal atau mengumbar-ngumbar selalu ngomongnya kafar kafir kafar kafir.
Omongan saya ini pro tulisannya menkopolhukam yang baru, pak mahfud. Tapi sama juga omongannya kafar kafir kafar kafir. Apa-apaan sih ini. Jadi pada zaman Bung Karno, kelompok sempit pikiran itu sudah ada, sampai saya nenek-nenek masih ada.
Jadi oh ini loh yang dimaksud pemimpin saya atau bapak saya ya bung Karno, kelompok sempit pikiran yang suka royal dengan kata-kata kafar kafir kafar kafir. (Bedanya) dulu bukan bom tapi dulu granat tapi mereka modus operandinya suka sama bom.
Kalau untuk merekrut yang namanya hijrah kek atau calon radikalis, katanya infonya, itu ditanya mana lebih bagus Pancasila sama Alquran. Sekarang saya mau tanya, yang berjuang di abad 20 itu nabi yang mulia Muhammad atau insinyur Soekarno? untuk kemerdekaan Indonesia. Saya mau tanya, jangan perempuan, kan kaum radikalisme kebanyakan laki-laki ya.
Ketika itu salah mahasiswa UIN, Jakarta bernama Maulana berusaha menjawab.
"Memang benar pada saat awal abad ke-20 itu yang berjuang adalah insinyur Soekarno.," kata Maulana
Belum sempat melanjutkan, Sukmawati langsung memberhentikan pernyataan mahasiswa tersebut.
"Oke, setop. Hanya itu yang Ibu mau tanya," potongnya.
Sukmawati kemudian meminta audiens lain untuk menjawab pertanyaan tersebut. Ia pun meminta salah satu mahasiswa asal Papua. Mahasiswa terbut malah menjawab 'Soeharto' dan seluruh audiens yang hadir pun tertawa.
Ia pun kemudian melanjutkan kalimat penutupnya.
Memangnya kita tidak boleh menghargai, menghormati, orang-orang mulia di awal-awal atau di abad modern. apakah yang selalu menjadi suri tauladan itu hanya nabi-nabi?
Ya oke nabi-nabi, tapi perjalanan sejarah seperti revolusi industri, apakah kita tidak boleh menghargai seperti Thomas Jefferson, Thomas Alfaedison. Orang orang mulia untuk kesejahteraan manusia. hitung saya pikir-pikir Anda tidak benar kalau untuk tidak menghargai dan menghormati mereka-mereka yang berbudi mulia."
(TRIBUNNEWS.COM/Wahyu Gilang Putranto) (Kompas.com/Dian Erika Nugraheny)