TRIBUNNEWS.COM - Juru bicara Partai Keadilan Sejahtera (PKS), M Kholid menyatakan, menolak amandemen UUD 1945 tentang masa jabatan presiden.
Kholid menilai, aturan jabatan presiden yang ada saat ini sudah tepat dan dapat menjaga demokrasi di Indonesia.
Menurutnya, dengan adanya perubahan pada masa jabatan presiden, yakni misal menjadi tiga periode, dapat menyebabkan berkurangnya semangat demokrasi, bahkan berpotensi munculnya sisi otoriter.
"Jangan sampai diperpanjang, justru spirit reformasi adalah kita membatasi kekuasaan itu," kata M Kholid dilansir dari kanal YouTube KOMPASTV, Sabtu (23/11/2019).
Ia mengungkapkan, PKS akan terus menjaga semangat reformasi dan pro demokrasi.
Sementara itu, menurut Ketua DPP Partai Gerindra, Hendarsam Marantoko menilai, amandemen UUD 1945 tentang masa jabatan presiden tidak substansial.
Ia menyatakan, Gerindra sudah cocok dengan aturan masa jabatan presiden saat ini.
"Amandemen UUD 1945 tentang masa jabatan presiden tidak baik untuk iklim demokrasi kita kedepannya, kalau itu dilakukan, kediktatoran akan terjadi," kata Hendarsam.
Menurutnya, kemungkinan para pimpinan melampaui batas kewenangannya untuk hal-hal pribadi akan terjadi jika amandemen dilakukan.
"Saya tidak merujuk kepada pemerintahan yang sekarang, kedepannya sangat-sangat berpotensi otoriter," katanya.
Sebelumnya, Ketua MPR, Bambang Soesatyo menyatakan, wacana memperpanjang masa jabatan presiden ada di masyarakat, bukan di parlemen.
Bambang meminta kepada semua pihak untuk membiarkan wacana perpanjangan masa jabatan presiden berkembang di masyarakat, karena masyarakat yang menentukan.
Baginya, aturan masa jabatan presiden saat ini sudah tepat, namun MPR akan tetap menyediakan wadah untuk aspirasi masyarakat.
"Apa yang ada saat ini, jabatan presiden dua kali, dan kemudian melalui pemilihan langsung, itu sudah pas adan tepat, kecuali ada desakan mayoritas masyarakat menghendaki lain,"