TRIBUNNEWS.COM - Eks Pramugari Garuda Indonesia, Anggi Ardana Neswara memberikan kesaksian soal pemecatannya oleh mantan Direktur Utama (Dirut) Garuda Indonesia, Ari Askhara.
Kesaksian tersebut disampaikan Anggi Ardana Neswara dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC), Selasa (10/11/2019).
Anggi Ardana dijatuhi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak oleh pihak Garuda Indoensia di bawah kepemimpinan Ari Askahara.
Ia diPHK karena membawa rokok sebanyak tiga slop ke pesawat Garuda menuju Jeddah.
Pada awalnya, 2 Agustus 2019 lalu, Anggi Ardana menjadi kru haji dari base Medan.
Karena ada saudaranya yang berada di Jeddah, ia mendapat barang titipan dari Indonesia ke Jeddah, yakni berupa rokok sebanyak tiga slop.
"Pada waktu itu landing di Jeddah aman-aman saja, bukan aman sih tapi barang bawaannya tersita," terangnya.
Rokok tersebut sebenarnya legal di perusahaan Garuda, namun justru dipermasalahkan oleh pihak Garuda.
"Saya hanya membawa tiga slop, sebanyak 600 stik dan tertulis di flight attendant service guide books, yang mana barang itu adalah legal dan aturannya boleh membawa sebanyak 600 stik," ungkap Anggi Andara.
Saat sampai di Jeddah, Anggi mengaku di sana terkena random check.
Tapi rokok tersebut hanya dibuang-buang saja.
Dari pihak Jeddah memperbolehkan membawa rokok namun hanya satu.
"Dari mereka diperbolehkan membawa namun hanya satu. Tapi hanya itu saja, tidak membayar pinalti, tidak masuk ke media, tidak ada kepolisian yang menangkap kami. Setelah itu kami diperbolehkan untuk kembali," paparnya.
"Namun, setelah itu, dipermasalahkan oleh pihak Garuda Indonesia bahwa membawa barang dagangan dan lain sebagainya," tambah dia.
Pihak Garuda Indonesia kemudian melakukan PHK secara sepihak kepada Anggi Ardana tanpa memberikan surat peringatan terlebih dalu.
Padahal, sesuai prosedur yang berlaku, setiap awak kabin yang diduga melanggar aturan terlebih dulu diberikan surat peringatan.
Dalam PHK sepihak tersebut, Anggi Ardana dituduh mencemarkan nama baik Garuda Indonesia.
"Saya tidak pernah melakukan kasus apapun di Garuda selama sembilan tahun saya bekerja. Tapi langsung saya dikeluarkan seperti itu dengan sewenang-wenang," ujar Anggi Ardana.
Ia menuturkan, saat dirinya bertanya kepada pihak manajemen, dijelaskan bahwa keputusan PHK tersebut datang dari Ari Askhara.
Anggi Ardana menungkapkan, ada delapan orang yang barang bawaannya disita saat di Jeddah, termasuk dirinya.
Sehingga dalam PHK sepihak tersebut melibatkan Anggi Ardana dan tujuh teman lainnya.
Reaksi Pramugari Senior Garuda saat Ari Askhara Dipecat
Pramugari Senior Garuda Indonesia, Yosephine Chrisan Ecclesia turut berkomentar terkait kepemimpian Ari Askhara sebagai Direktur Utama (Dirut) Garuda Indonesia.
Sebelumnya diketahui, Ari Askhara telah dipecat oleh Menteri BUMN, Erick Thohir karena diduga menyelundupkan motor Harley davidson dan sepeda brimpton dalam Maskapai Garuda Indonesia GA 9721 Air Bus A330-900 Neo.
Tanggapan Yosephine disampaikan dalam acara Apa Kabar Indonesia Pagi yang kemudian diunggah oleh kanal YouTube Talk Show tvOne, Senin (9/12/2019).
Yosephine menuturkan, banyak awak kabin yang merasa lega setelah Ari Askhara dicopot dari jabatannya.
"Pencopotan ini kami awak kabin banyak merasa ya, rasanya duri yang tertanjam di dalam itu lepas akhirnya gitu," jelas Yosephine.
Wujud dari kelegaan tersebut, banyak dari teman-teman Yosephine yang melakukan syukuran atas dicopotnya Ari Askhara sebagai Dirut Garuda Indonesia.
"Setelah tahu itu, banyak teman-teman yang melakukan tumpengan, syukuran, ngundang anak yatim," ungkap Yosephine.
Yosephine mengungkapkan banyak kebijakan yang diterapkan oleh Ari Askhara yang menyulitkan awak kabin.
Seperti penerbangan pulang pergi (PP), pramugari harus bekerja selama 18 jam sehari.
Kejadian tersebut dialami oleh Hersanti, yang melayani penerbangan Jakarta-Melbourne-Jakarta.
"Yang paling parah durinya itu seperti penerbangan PP itu lo," jelas Yosephine.
Yosephine menyatakan berdasarkan regulasi yang ada minumum awak kabin bekerja itu 14 jam, tapi kenyataannya bisa mencapai 18 jam.
"Tapi kenyataannya kita terbang itu nggak murni 14 jam karena kita kerja dimulai pada saat kita lapor di airport, 1,5 jam sebelum scedule itu kita sudah masuk dalam duty. Nah jadi bisa lebih, belum lagi transit di luar negeri," jelas Yosephine.
Lebih lanjut, Yosephine mengungkapkan adanya kebijakan jaminan uang terbang yang tidak adil antara junior, senior, dan manajer.
Jaminan tersebut harusnya berlaku untuk awak kabin yang tengah sakit atau sedang discord.
Tapi menjadi tidak adil ketika kebijakan itu berlaku untuk manajer yang di struktural.
Bagi manajer yang duduk di struktural mereka bisa berkumpul bersama keluarga saat Sabtu dan Minggu.
Serta ketika hari libur nasional, mereka juga bisa mengambil libur untuk berkumpul bersama keluarga.
Namun, bagi awak kabin yang tidak duduk di struktural mereka tetap harus melayani penerbangan.
"Jadi di struktural itu double pembayaran. Tunjangan jabatan dia dapat, tunjangan jaminan jam terbang dia dapat. Padahal belum tentu sebulannya jam terbangnya sampai 60 jam," paparnya.
Terkait kebijakan tersebut sebenarnya resminya belum ada, namun sudah diimplementasikan November lalu.
"Dan semua teman-teman kaget karena dari kita sendiri awak kabin tidak diberitahu berapa nominalnya," ungkapnya.
Yosephine mengungkapkan soal kebijakan tersebut hanya ada beberapa tim yang mensosialisasikan tetapi tidak jelas, hanya dalam bentuk powerpoint.
(Tribunnews.com/Nanda Lusiana Saputri)