TRIBUNNEWS.COM - Permohonan uji materi terkait pencalonan mantan narapidana sebagai kepala daerah di terima sebagian oleh Mahkamah Konstitusi.
Permohonan uji materi ini sebelumnya diusulkan oleh Perkumpulan untuk pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Indonesia Crruption Watch (ICW).
Perludem dan ICW mengajukan uji materi pada Undang-Undang terkait Pilkada.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Hakim Ketua MK Anwar Usman, dikutip dari Kompas.com
Mahkamah Konstitusi menyebutkan, pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal tersebut juga dinyatakan tidak mempunyai hukum mengikat.
Pasal 7 ayat (2) huruf g UU pilkada menjelaskan salah satu syarat seseorang dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah adalah tidak pernah menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan tersebut ialah mantan terpidana.
Baca: KPK Hargai Putusan MK soal Jeda 5 Tahun Mantan Terpidana Koruptor Maju Pilkada
Baca: MK Putuskan Tiga Syarat Baru Mantan Narapidana yang Akan Maju Pilkada
Oleh karena itu, MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon.
Adapun sebagian permohonan yang disetujui MK adalah terkait dengan bunyi pasal menjadi berubah.
Perludem dan ICW pada awalnya meminta MK untuk memutuskan seorang mantan napi yang dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah adalah mereka yang telah melewati jangka waktu 10 tahun.
Jangka 10 tahun tersebut dihitung setelah seseorang itu telah selesai menjalani masa pidana penjara.
Namun permohonan yang pada awalnya 10 tersebut ditolak oleh MK.
MK kemudian memutuskan jangka waktu seorang mantan napi untuk bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah menjadi 5 tahun sesudah bersangkutan selesai menjalani pidana penjara.
Keputusan MK terkait mantan narapida bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah turut ditanggapi oleh Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang.
Ia menganggap keputusan MK tersebut dinilai baik bagi upaya terciptanya kondisi politik yang berintegritas.
"Paling tidak ya sedikitlah terobati apa yang kita minta perlunya politik cerdas berintegitas di negeri ini dan itu bisa datang dari kompetensi kita masing masing," kata Saut dikutip dari Kompas.com, Rabu (11/12/2019).
Ia menganggap dengan penetapan oleh MK , khususnya terkait masa selang mantan narapida untuk mencalonkan diri sebagi kepala daerah, ini bisa menjadikan sebuah acuan untuk upaya pemberantasan korupsi.
Saat ini tindakan korupsi harus dihancurkan dan digalakkan oleh semua pihak.
Meskipun Saut menyadari, keputusan MK tersebut tidak menjamin untuk semua orang, khususunya kepada daerah untuk melakukan tindakan korupsi.
"Ya pastilah tidak ada jaminan tidak korupsi lagi, itu kan dengan harapan, namun apakah mencapai sasaran? Secara simultan harus dilakukan tindak cegah sehingga cara menilainya sejauh apa semua kita berinisiatif," ujar Saut
Dalam keputusan Mahkamah Konstitusi, setidaknya ada empat poin yang diatur:
1. Seseorang yang dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah tidak pernah diancam dengan hukuman pidana penjara atau lebih, kecuali tindak pidana kealfaan dan tindak pidana politik.
2. Mantan narapidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah hanya apabila yang bersangkutan telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana penjara.
3. Seorang calon kepala daerah yang merupakan mantan narapidana harus mengumumkan latar belakang dirinya sebagai seorang mantan napi.
4. Yang bersangkutan bukan merupakan pelaku kejahatan yang berulang
(Tribunnews.com/Muhammad Nur Wahid Rizqy)