Dini mencontohkan, di negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) misalnya yang telah menjalakan hukuman mati untuk para pencuri uang rakyat ini.
Meskipun tingkat ekesekusi di negara tersebut terbilang tinggi, skor Corruption Perception Index (CPI) antara Indonesia dengan negara RRT tidak beda jauh.
"CPI Indonesia dengan China cuma 2 skor, apakah dia hukuman mati efektif?," tanya Dini.
Dini menyimpulkan dengan banyaknya koruptor dihukum mati tidak serta merta mengurangi tingkat korupsi para pejabat negara.
Komentar Direktur Eksekutif Setara Institute
Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani menilai Presiden Joko Widodo tidak punya kesadaran dalam bidang penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM).
Hal ini diungkapkannya dalam menanggapi pernyataan Presiden yang menyatakan bisa membuka kemungkinan penerapan hukuman mati.
"Ya itu tadi, beliau enggak punya leadership dalam isu penegakan hukum dan HAM. Makna dari tidak punya leadership itu bisa tidak aware, tidak (bisa) mengendalikan, tidak bisa memimpin," ujar Ismail dikutip Tribunnews.com dari laman Kompas.com, Jumat (13/12/2019).
Baca: Jokowi Bantah Bangun Dinasti, Pengamat Politik: Ini Namanya Declare Wacana
Ismail lantas menyinggung sikap Presiden yang sebelumnya memberikan grasi kepada terpidana kasus korupsi.
Sikap Jokowi yang disebutnya kontradiktif ini semakin menegaskan bahwa tidak punya leadership di bidang hukum dan HAM.
"Karena kemarin beliau beri grasi, tapi hari ini beliau buka kemungkinan soal hukuman mati," tegas Ismail.
Lebih lanjut dia mengungkapkan bahwa hukuman mati tidak berbanding lurus dengan penurunan tingkat berbagai kejahatan.
Ismail menyarankan lebih baik ada perbaikan di sektor peradilan dibandingkan menerapkan hukuman mati.
"Sebaiknya jangan mengobral praktik hukuman mati dan menerapkannya secara membabi buta," tambahnya.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sikap Jokowi Dinilai Kontradiktif soal Grasi dan Hukuman Mati bagi Koruptor"
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan) (Kompas/Dian Erika Nugraheny)