Menurutnya, tiga hal tersebut belum terjawab secara detail.
Politisi PKS tersebut mempertanyakan pula soal asesmen.
Mengingat ada berbagai hal yang berkembang dan ia menegaskan kembali sampai sekarang detail untuk asesmen itu belum diselesaikan.
"Betul masing-masing daerah punya muatan lokal. Tetapi, kalau untuk hal-hal seperti ini harus ada minimum dasar secara nasional," ujarnya.
Tanggapan Buya Syafii Maarif
Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif tanggapi soal kebijakan Merdeka Belajar.
Ia mengimbau agar Mendikbud tidak tergesa-gesa memutuskan.
"Jangan tergesa-gesa, dikaji ulang secara mendalam," tutur Buya Syafii melalui tayangan YouTube Kompas TV, Kamis (12/12/2019).
15 Latihan Soal dan Kunci Jawaban Bahasa Indonesia Kelas 4 SD Bab 2 Kurikulum Merdeka, Di Bawah Atap
15 Latihan Soal Bahasa Indonesia Kelas 4 SD BAB 3 Kurikulum Merdeka dan Kunci Jawaban, Lihat Sekitar
Mantan Ketum PP Muhammadiyah tersebut mengaku mengkhawatirkan minat belajar siswa.
Menurutnya, apabila pelaksanaan UN benar-benar diganti, dapat membuat siswa tidak belajar dengan sungguh-sungguh.
Ia juga menuturkan program Asesmen Kompetensi Minimun dan Survei Karakter itu harus ditinjau dari segala perspektif.
"Harus hati-hati. Tidak segampang itu. Di mana-mana Ujian Sekolah ada," katanya.
Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter
Nadiem Makarim menjelaskan pengertian dari program pengganti Ujian Nasional yaitu Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter,
Menurut Nadiem, program pengganti itu tengah dibahas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Namun, sudah ditentukan pelaksanaan program tersebut akan berbasis komputer.
"Secara teknis, detailnya kita sedang membahas, tapi sudah pasti akan dilaksanakan melalui komputer," ujar Nadiem saat Rapat Koordinasi bersama Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Indonesia di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan yang Tribunnews kutip dari YouTube Kompascom Reporter on Location, Rabu (11/12/2019).
Pelaksanaan berbasis komputer tersebut, menurutnya berdasarkan standar nasional yang sudah ditentukan.
"Apapun dalam standar nasional itu computer based," lanjutnya.
Program pengganti UN itu sebagai gerakan Kemendikbud ke depan.
"Jadi itu adalah gerakan kita, PR kita selama satu tahun ke depan ini adalah memastikan semua murid itu bisa (menggunakan)," jelasnya.
Alasannya, menurut Nadiem, masih ada siswa di beberapa daerah yang belum bisa mengoperasikan komputer.
"Karena beberapa di daerah kan belum bisa," jelasnya.
Sehingga tugas tersebut, akan dituntaskan Nadiem Makarim bersama Kemendikbud pada tahun ini.
"Jadi itu harapannya harus kita tuntaskan tahun ini," tambah Nadiem.
Nadiem Makarim mengatakan, penggantian UN tersebut dianggap kurang ideal untuk mengukur prestasi belajar siswa.
Nadiem juga menyebut, materi dalam ujian nasional juga terlalu padat.
Menurutnya, materi yang padat tersebut mengakibatkan siswa cenderung berfokus pada hafalan materi dan bukan kompetensi.
"Ini sudah menjadi beban stres antara guru dan orangtua karena sebenarnya ini berubah menjadi indikator keberhasilan siswa sebagai individu," ungkap Nadiem.
Nadiem menjelaskan, semangat UN itu untuk mengasesmen sistem pendidikan, baik itu sekolahnya, geografinya maupun sistem pendidikan secara nasional.
Sehingga, ia menjelaskan UN hanya menilai satu aspek, yakni kognitifnya.
Malah menurutnya, belum menyentuh seluruh aspek kognitifnya, tapi lebih kepada penguasaan materi.
"Belum menyentuh karakter siswa secara lebih holistik," tambah Nadiem.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)