Namun demikian hingga saat ini juga belum ada langkah signifikan dalam proses transformasi ini.
”Langkah pendirian Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) di beberapa daerah kantong pekerja migran belum diikuti dengan pemaksimalan fungsi-fungsi layanan publik di daerah untuk mendukung berlangsungnya mekanisme pelayanan penempatan pekerja migran berbasis perlindungan di daerah,” katanya.
Menurut Wahyu, amanat Undang-Undang No 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, pendidikan dan pelatihan juga akan lebih banyak dilakukan di daerah, namun hingga saat ini pemerintah masih lebih mengutamakan BLKN milik swasta untuk proses penyiapan calon pekerja migran.
Programmer Officer ILO, Irham Ali Saifudin, mengatakan, ada beberapa faktor perubahan yang harus dicermati dalam konteks pekerja migran.
Pertama adalah globalisasi, dimana dalam industri, rantai distribusi sudah sangat kompleks dan apa yang terjadi di satu negara tak bisa lepas dari kejadian di negara lainnya.
”Kedua soal cepatnya pertumbuhan teknologi informasi. Kabar baiknya, pekerjaan informal yang selama ini menjadi basis utama pekerja migran Indonesia, itu merupakan pekerjaan yang tidak bisa diganti mesin atau robot,” jelasnya.
Karena itu, jelas Irham, yang jadi pekerjaan rumah kemudian bagaimana agar sektor pekerjaan informal ini tidak dianggap sebelah mata dan tidak hanya dianggap sebagai low skill worker.
Selanjutnya adalah soal demografi, dimana Indonesia ada di antara negara asian yang paling menikmati bonus demografi pada 2030 sampai 2045.
Pada saat itu usia angkatan kerja Indonesia meningkat dan akan memberi kontribusi aktif terjadap pertumbuhan ekonomi.