Pada awal bulan ini, Ketua Stasi Anastasia Maradu Lubis mengajukan izin agar dapat melakukan ibadah dan perayaan Natal di rumah singgah Katolik, di Kampung Baru.
"Saya tidak minta yang muluk-muluk, beribadah di rumah saja, bisa itu sudah lebih daripada cukup. Berpindah-pindah pun kami dari rumah ke rumah, asalkan boleh sekali seminggu untuk merayakan ibadah," kata Maradu.
Namun Wali Nagari tidak memberikan izin dan melaporkan surat penolakan warga pada dua tahun sebelumnya yang dianggap belum dicabut.
Umat Kristiani di Dharmasraya hanya boleh merayakan Natal di rumah masing-masing.
Program Manager Pusat Studi Antarkomunitas (Pusaka) Padang, Sudarto, mengatakan jika umat Kristiani tidak mengindahkan pemberitahuan dan pernyataan Pemerintah Nagari, ninik mamak, tokoh masyarakat, dan pemuda Nagari Sikabau akan ada tindakan tegas.
"Mereka melarang ibadah dilakukan di rumah singgah, ibadah hanya boleh dilakukan secara sendiri-sendiri."
"Ini kan menolak ibadah berjamaah bersama-sama yang mendatangkan orang lain di tempat itu," jelas Sudarto.
Saat ini ada 40 umat Katolik di Jorong Kampung Baru, Nagari Sikabau dan sekitar 60 umat Katolik di Sungai Rumbai.
Sementara jumlah penganut Kristen diperkirakan berjumlah 77 kepala keluarga di Sungai Rumbai.
Hingga kini, tidak ada gereja di Kabupaten Dharmasraya.
Setiap tahun mereka menyelenggarakan ibadah Natal di Gereja Santa Barbara di Kota Sawahlunto, sekitar 120 kilometer dari tempat tinggal mereka.
'Kearifan lokal sebagai alat legitimasi'
Peneliti SETARA Institute, Halili, menyebut polemik di Dharmasraya muncul karena "kearifan lokal digunakan sebagai alat legitimasi satu kelompok untuk menafikkan eksistensi kelompok lain".