News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Rentan Dipraperadilankan, Operasi KPK Harus Berdasarkan Undang-Undang yang Baru

Penulis: Taufik Ismail
Editor: Eko Sutriyanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membawa sejumlah barang bukti seusai menggeledah Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), di Jakarta, Senin (13/1/2020). Penggeledahaan tersebut untuk mencari barang bukti terkait kasus suap pemulusan proses Pergantian Antar Waktu (PAW) Anggota DPR yang menjerat mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

Laporan Wartawan Tribunnews Taufik Ismail

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum pidana dari Universitas Soedirman, Hibnu Nugroho menilai bahwa segala ketentuan dalam kegiatan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK harus sesuai dengan perintah UU KPK baru.

Karena apabila tidak menurutnya maka kasus yang sedang ditangani KPK tersebut rentan digugat ke pengadilan.

Hibnu mencontohkan penggeledehan yang dilakukan KPK ke kantor PDIP.

Penggeledahan itu batal karena KPK tidak menyertakan izin Dewan Pengawas yang diharuskan berdasarkan Undang-Undang KPK yang baru.

"Dalam kasus OTT Komisioner KPU misalnya, yang diduga ikut melibatkan elite politik PDIP potensi untuk masuk ke Praperadilan sangat tinggi. Terbukti ketika penyelidik KPK mendatangi kantor DPP PDIP tidak bisa menunjukkan surat izin penggeledahan dari Dewan Pengawas KPK, "katanya kepada wartawan Senin, (13/1/2020).

Baca: ‎UU KPK Baru Dinilai Perlambat Kerja KPK, Istana: Beri Waktu Dewas dan Pimpinan KPK Bekerja

Baca: PKS: Dewan Pengawas Bikin Kinerja KPK Memble!

Baca: KPK Tak Kunjung Geledah Kantor DPP PDIP, Mantan Ketua KPK Abraham Samad: Pertama Kali dalam Sejarah

Hibnu juga mencontohkan OTT Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan OTT Komisioner KPU Wahyu Setiawan.

Menurut Hibnu,  OTT yang dilakukan berpotensi melanggar Pasal 69 Huruf D Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal tersebut menyebutkan bahwa, ’Sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum Undang-Undang Ini.’

Setelah terbentuk maka, segala segala upaya paksa, baik penyadapan, penggeledahan dan penyitaan barang bukti harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK.

"Dengan kondisi seperti ini KPK mesti mengevaluasi diri, baik dalam aspek tata kelola manajemen termasuk dalam aspek UU yang baru," katanya.

Baca: KPK Sudah Dapat Izin Dewas Geledah Sejumlah Lokasi Terkait Suap PAW Caleg PDIP

Baca: Sidang MK Disinyalir Lakukan Penyelundupan Hukum Atas Terbitnya UU KPK Hasil Revisi

Baca: Dewan Pengawas KPK Diminta Tak Tergoda untuk Intervensi Ranah Teknis

Tidak hanya itu, menurutnya bahwa kegiatan penindakan yang dilakukan pada masa kepemimpinan KPK yang baru, maka Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) juga harus dikeluarkan oleh pimpinan KPK yang baru. Artinya semua upaya paksa harus atas izin dari Dewan Pengawas KPK.

"Sehingga itulah yang dikhawatirkan publik, jangan-jangan KPK tidak mengantongi izin dari Dewan Pengawas soal penyadapan, penggeledahan dan penyitaan yang berhubungan dengan penanganan perkara," katanya.

Ia mengatakan bahwa dalam ilmu pembuktian, penyadapan merupakan alat bukti yang sangat kuat di Pengadilan.

"Sehingga ketika dua OTT KPK terhadap dua perkara masuk Praperadilan, maka syarat formil dan materiil harus dipenuhi. Syarat formil misalnya izin dari Dewan Pengawas terkait dengan penyadapan dan seterusnya," katanya.

"Ketika KPK tidak bisa menunjukkan izin dari Dewan Pengawas dalam dua OTT yang dilakukan, maka penyadapan yang dilakukan berpotensi ilegal dan tidak sah secara hukum," tuturnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini