TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin bahwa peristiwa tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) menimbulkan kontroversi.
Komisi III DPR berencana mempertemukan perwakilan pemerintah, yakni Jaksa Agung Burhanuddin, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dengan perwakilan Komnas HAM untuk mengklarifikasi masalah ini.
"Saya akan usulkan Komisi III untuk membuat rapat bersama antara Jaksa Agung, Komnas HAM, dan Menkopolhukam untuk membahas kasus ini hingga tuntas," kata Ketua Komisi III DPR Herman Hery sata dihubungi, Jumat (17/1/2020).
Baca: Tersebar Larangan Beli Produk Dagangan Anak Presiden Jokowi, Begini Tanggapan Kaesang Pangarep
Baca: Jokowi Sebut Masterplan Banjir di Jakarta Sudah Ada sejak 1973: Tidak Usah Lah, Ada Ide-ide Baru
Baca: Jokowi Jawab soal Dinasti Politik dan Singgung Gibran dan Bobby yang Belum Dapat Partai Pengusung
Herman mengatakan DPR sebagai lembaga legislatif tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan suatu kasus adalah kejahatan HAM berat atau tidak. Hal itu menjadi kewenangan lembaga yudikatif seperti peradilan.
Namun, menurutnya DPR sebagai lembaga politik dapat memberikan merekomendasi kepada pemerintah atau aparat penegak hukum terkait hal-hal yang menjadi perhatian masyarakat.
Ia melihat pernyataan ST Burhanuddin mengacu pada rekomendasi Panitia Khusus (Pansus) DPR pada 2001. Dia menegaskan, keputusan politik dari DPR pada periode itu bukan merupakan keputusan hukum seperti kewenangan yang dimiliki yudikatif.
"Seperti contoh pada tahun 2005 Komisi III juga pernah merekomendasikan kepada pimpinan DPR RI agar kasus Trisakti Semanggi I dan II dibuka kembali. Jadi, rekomendasi DPR itu merupakan keputusan politik bukan merupakan keputusan hukum," tandasnya.
Tragedi Semanggi merujuk pada dua kejadian unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat terhadap agenda Sidang Istimewa MPR di kawasan Semanggi Jakarta pada 1998 atau setelah jatuhnya Presiden Soeharto, yang mengakibatkan banyaknya warga sipil yang tewas.
Dari Tragedi Semanggi I yang terjadi pada 11-13 November 1998, ada sebanyak 17 warga sipil tewas. Dan dari Tragedi Semanggi II pada 24 September 1999, ada 11 warga sipil tewas dan 217 korban luka-luka.
Sejumlah polisi dan tentara diadili akibat dua peristiwa penembakan itu, namun banyak pihak mengklaim pengadilan terhadap mereka gagal memenuhi keadilan bagi para korban dan gagal mengungkap dalang di balik penembakan.
Namun, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR pada Kamis, 16 Januari 2020, Jaksa Agung ST Burhanuddin yang belum lama dilantik itu mengatakan, peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat.
"Peristiwa Semanggi I, Semanggi II, telah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat," kata Burhanuddin dalam rapat itu.
Kendati demikian, Burhanuddin tak menyebutkan, kapan rapat paripurna DPR yang secara resmi menyatakan peristiwa Semanggi I dan II tak termasuk pelanggaran HAM berat.
Tercatat, DPR periode 1999-2004 pernah merekomendasikan Peristiwa Semanggi I dan II tidak termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat. Namun, hal itu merupakan keputusan politik dan bukan keputusan lembaga yudikatif seperti pengadilan HAM.