Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menyambut baik keputusan pemerintah tidak memulangkan 689 eks Warga Negara Indonesia (WNI) yang pernah bergabung dengan ISIS.
Wakil Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi (Awiek) menilai, keputusan pemerintah itu diambil untuk menjaga keutuhan NKRI dari rongrongan pelaku terorisme.
Baca: Mantan Anggota ISIS Cerita Pengalaman Gelap di Suriah, Melihat Pembunuhan Buatnya Sadar
"Dalam kaidah ushul fiqh mencegah kemudaratan lebih diutamakan daripada mengambil manfaat. Maka larangan pemerintah tersebut dimaknai sebagai upaya mencegah meluasanya kemudaratan yakni mengantisipasi benih-benih terorisme berkembang," ujar Sekretaris Fraksi PPP di DPR RI ini kepada Tribunnews.com, Selasa (11/2/2020).
Apalagi, kata Awiek, ketika memilih bergabung dengan ISIS, 689 eks WNI itu sudah membakar paspor.
Baca: Respons Komnas HAM Sikapi Keputusan Pemerintah Tolak Pemulangan 689 WNI Eks ISIS
"Dan itu bisa dianggap memang tidak mengakui NKRI lagi," tegasnya.
Karena itu, imbuh dia, sudah tepat keputusan pemerintah tak memulangkan mereka guna mencegah atau mengantisipasi benih-benih terorisme berkembang di Indonesia.
Nasib anak-anak eks ISIS menjadi sorotan
Pemerintah telah memutuskan tidak akan memulangkan 689 eks ISIS kembali ke Indonesia.
Menanggapi keputusan tersebut, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyoroti nasib anak-anak yang dibawa orangtuanya bergabung kepada ISIS.
Baca: Said Aqil Bertemu Menlu Retno Marsudi, PBNU Tegaskan Tolak Pemulangan WNI Eks ISIS
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik mengatakan, bisa saja ada anak-anak yang tidak terlibat dalam ISIS tetapi ikut dalam rombongan pelintas batas tersebut.
Berdasarkan hukum internasional, kata Taufan, anak-anak yang terlibat sebagai kombatan terorisme sekalipun tidak bisa disebut sebagai pelaku, tetapi korban.
"Terus nasib mereka bagaimana? Dia kan korban. Apa kita tidak pulangkan? Kalau kita tidak pulangkan apa langkah kita? Ya memang bisa saja melalui lembaga internasional untuk diurus, boleh. Tapi saya enggak lihat apa langkah pemerintah ini setelah memutuskan tidak memulangkan," kata Taufan kepada Kompas.com, Selasa (11/2/2020).
Taufan mencontohkan, berdasarkan sistem peradilan anak di Indonesia, anak berusia 10 tahun pada dasarnya tidak bisa dikenakan pidana. Itu lantaran mereka belum memiliki kesadaran hukum.