ICW kemudian membandingkan dengan proses seleksi Deputi Penindakan pada 2018 ketika Ketua KPK saat ini Firli Bahuri terpilih sebagai Deputi Penindakan KPK.
Saat itu, informasi mengenai tahapan dan calon disampaikan oleh KPK. Bahkan KPK meminta bantuan lembaga lain, salah satunya Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam konteks menggali rekam jejak setiap calon.
Menurut Wana, hal itu berbeda dengan proses seleksi saat ini di manar PPATK tidak dilibatkan sama sekali.
"Kami juga mendesak KPK melibatkan lembaga lain yang kompeten, terutama PPATK untuk menggali informasi mengenai transaksi keuangan dan menguji integritas dari setiap calon yang mendaftar," katanya.
Wana menyatakan, posisi Deputi Penindakan KPK memiliki peran sentral dalam proses penanganan perkara korupsi.
ICW khawatir jika posisi tersebut diisi oleh orang yang tidak memiliki integritas dan kapasitas yang memadai akan semakin menggerus kepercayaan publik terhadap KPK.
Hal ini semakin mengkhawatirkan lantaran mayoritas calon Deputi Penindakan yang telah diketahui publik berasal dari institusi penegak hukum.
Tak tertutup kemungkinan, jika Deputi penindakan KPK diisi oleh aparat penegak hukum akan terjadi potensi konflik kepentingan, terutama ketika KPK mengusut perkara korupsi di institusi penegak hukum tersebut.
"Untuk itu, kami mendesak Pimpinan KPK menunjukkan integritas, profesionalitas dan reputasi yang baik dalam keputusan-keputusan yang diambil dan mengikat kelembagaan KPK, termasuk dalam proses seleksi Deputi Penindakan KPK agar KPK tidak semakin kehilangan kepercayaan publik di kemudian hari," kata Wana.