Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom INDEF Bhima Yudhistira menilai langkah pemerintah yang memilih menerapkan darurat sipil dibandingkan karantina wilayah dalam pencegahan penyebaran virus corona (Covid-19) sebagai hal yang kurang tepat.
Ia menilai dalam penerapan darurat sipil, tentunya tidak ada kewajiban bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi warganya.
Baca: Ekonom Pertanyakan Keputusan Pemerintah Terapkan Darurat Sipil Cegah Penyebaran Virus Corona
Hal inilah yang ia khawatirkan.
Karena semakin melesunya perekonomian Indonesia akibat virus corona tentu berdampak pada terbatasnya kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup.
"Berbeda dari karantina wilayah, dalam darurat sipil, kewajiban pemenuhan kebutuhan pokok itu tidak ada," ujar Bhima, kepada Tribunnews, Selasa (31/3/2020) siang.
Menurut Bhima, darurat sipil hanya terkait dengan pembatasan hak sipil bagi warga saat terjadi situasi seperti perang.
Berbeda dengan situasi yang terjadi saat ini yang disebabkan wabah penyakit.
"Darurat sipil lebih bicara pada persoalan pembatasan hak-hak sipil ketika terjadi kondisi darurat semacam perang, dan situasi yang mengancam negara," jelas Bhima.
Perlu diketahui, munculnya opsi darurat sipil sebenarnya tercantum dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 23 Tahun 1959.
Dalam pasal 1 pada Perpu ini, terdapat 3 poin yang menjadi pertimbangan pada penerapan darurat sipil.
Yang pertama adalah keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa.
Kemudian yang kedua adalah timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga.