Setelah tiga kali diminta oleh Menteri BUMN, maka dengan semangat ingin berbakti kepada negara dan mengembangkan Garuda menjadi perusahaan kelas dunia, akhirnya Emirsyah Satar menerima tawaran tersebut.
"Garuda pada tahun 2005 berada dalam keadaan nyaris bangkrut," katanya.
Tidak seperti pada saat jayanya dengan nilai Milyaran Dollar dan mampu IPO di tahun 2011 dengan valuasi perusahaan senilai US$ 1,8 Milyar atau Rp 18 Triliun dimana negara mendapatkan Rp 4,7 Triliun dengan melepas 26% saham ketika IPO.
Pada tahun 2005 tersebut, utang Garuda mencapai USD 800 juta dan kas perusahaan tidak cukup menutupi operasional, termasuk membayar gaji karyawan, serta kreditur mengancam menyita pesawat, artinya nilai Garuda negatif.
Di lain sisi, utilisasi pesawat tidak optimal karena sistem perawatan mesin tidak efisien dan mahal, mengakibatkan "tingkat ketepatan penerbangan" (on-time performance) jelek, yang berarti pesawat Garuda sering mengalami delay.
Melalui program transformasi "Quantum Leap" yang dilaksanakan Emirsyah Satar selama kepemimpinannya di Garuda, selain berhasil membawa Garuda menjadi airlines yang kembali meraih keuntungan, Emirsyah Satar juga menjadikan Garuda airline kelas dunia.
Garuda berhasil menjadi "airline bintang lima" (5 star-airlines), "10 penerbangan terbaik dunia", Garuda menjadi airline dengan awak kabin terbaik (world's best cabin crew), world's best economy class, Garuda menjadi penerbangan Indonesia pertama yang mendapat standard safety internasional - IOSA (international operational safety audit) dan Garuda berhasil menjadi anggota aliansi penerbangan internasional "Skyteam" - bersama 19 penerbangan dunia lainnya.
Emirsyah Satar dalan pledoinya juga memohon maaf atas kekhilafannya dan siap bertanggung jawab tetapi ia menyatakan tidak semua yang dijatakan dalan Surat Tuntutan adalah benar sehingga ia memohon keringanan hukuman.
Emirsyah Satar mengaku tidak mengetahui dan tidak bermaksud melakukan pencucian uang dan tidak pernah menitipkan uang kepada Soetikno Soedarjo.
Selain itu ia juga menyatakan tidak melakukan back to back loan sebagaimana dituduhkan, karena rumah di Permata Hijau yang ditempatkan sebagai jaminan kredit di bank adalah harta yang sah dan sudah dia beli tahun 2004 sebelum menjabat di Garuda.
"Sehingga tidak benar rumah itu adalah hasil tukar tanah maupun dibeli menggunakan fee dari pengadaan di Garuda," ujarnya.
Sedangkan jual beli apartemen Silversea di Singapura antara Emirsyah Satar dengan Soetikno adalah transaksi riil bukan transaksi fiktif, lanjut dia, semua pembayaran biaya perawatan dan penerimaan uang sewa apartemen dilakukan Soetikno Soedarjo dan apartemen tersebut sudah dikeluarkan Emirsyah dari LHKPN-nya.