TRIBUNNEWS.COM - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) turut berpendapat perihl kabar tiga ABK WNI yang dilarung ke laut dari sebuha kapak China.
Baru-baru ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan praktik eksploitasi Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia di kapal China, Long Xing.
Kapal penangkapan ikan berbendera Republik Rakyat Tiongkok (RRT) itu, sempat berlabuh di perairan Busan, Korea Selatan.
Praktik tersebut pertama kali diketahui oleh stasiun televisi Korea Selatan, MBC News.
MBC News melaporkan adanya keberadaan WNI dengan keadaan yang memperihatinkan.
MBC News pun menyebut praktik tersebut sebagai perbudakan.
Bahkan, tiga orang di antara WNI itu, meninggal dunia dan jenazahnya dilarung di laut lepas.
Video pelarungan jenazah itu pun ditayangkan dalam berita dan menuai berbagai kecaman.
Baca: HNW Minta Kemlu RI Investigasi Dugaan Perbudakan di Kapal China
Baca: Indonesia Tuntut Penjelasan Kapal Nelayan China Buang 3 Jasad ABK ke Laut
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati menilai kasus tersebut merupakan ujung kecil dari besarnya bongkahan es praktek perbudakan yang terjadi di industri perikanan tangkap dunia.
Oleh karenanya, sekali lagi setelah kasus perbudakan Benjina, Susan mengatakan pemerintah telah gagal melindungi pekerja perikanan Indonesia.
Diketahui, Kementerian Luar Negeri mengatakan, dari penjelasan sang kapten kapal, pelarungan tersebut beralasan.
Menurutnya, keputusan itu disebabkan 3 ABK kapal tersebut meninggal dunia karena penyakit menular.
Pelarungan tersebut pun telah didasarkan pada persetujuan ABK kapal lainnya.
"Pernyataan dan alasan kapten kapal terkait kematian ABK Kapal Indonesia tidak dapat dipercayai seutuhnya."
"Praktek perbudakan modern di atas kapal penangkapan ikan menjadi praktek yang sering kali terjadi untuk menekan biaya produksi," ujar Susan dalam keterangan yang diterima Tribunnews, Jumat (8/4/2020).
Baca: Cerita ABK Indonesia Dipaksa Buang Mayat Teman-temannya ke Laut oleh Kapten Kapal China
Baca: Akan Segera Pulang ke Indonesia, Kisah ABK di Kapal China, Tidur 3 Jam Hingga Makan Umpan Ikan
Bahkan, menurut Susan, para ABK pun kerap dipekerjakan secara tidak manusiawi.
"Mayoritas kasus yang ada, situasi dan kondisi kerja para ABK Kapal sangat tidak manusiawi."
"Baik itu dari jam kerja berlebih (lebih dari 18 jam sehari), fasilitas makanan dan minuman yang buruk."
"Sistem sanitasi dan kesehatan yang tidak memadai, kekerasan fisik, dan lain sebagainya," tambah Susan.
Susan juga menilai praktek perbudakan modern yang terjadi itu biasanya dibarengi dengan kegiatan ilegal lainnya.
"Seperti penangkapan ikan secara ilegal (IUU Fishing) dan praktek perdagangan manusia," jelasnya.
Selain itu, Susan mengatakan, banyak ABK yang kerap kali 'tertipu' saat bekerja di kapal.
"Tidak sedikit kasus dimana banyak ABK Kapal yang ‘ditipu’ untuk bekerja menjadi ABK kapal di industri kapal penangkapan ikan tanpa adanya kontrak kerja yang jelas dan gaji yang layak," tandasnya.
(Tribunnews.com/Maliana)