Hal senada disampaikan anggota Komisi IX DPR Kuniasih Mufidayati.
Ia menilai Jokowi telah mengabaikan putusan Mahkamah Agung soal iuran BPJS Kesehatan.
"Penerbitan Perpres ini bukan pelaksanaan amar putusan Mahkamah Agung, di mana apa yang diperintahkan oleh Mahkamah Agung untuk dilaksanakan tetap belum dilaksanakan," kata Kurniasih.
Sementara itu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto beralasan penaikan iuran BPJS bertujuan untuk menjaga keberlanjutan BPJS Kesehatan itu sendiri.
"Sesuai dengan apa yang sudah diterbitkan, ini adalah untuk menjaga keberlanjutan BPJS Kesehatan. Namun, tetap ada iuran yang disubsidi pemerintah," ujar dia dalam konferensi video, Rabu (13/5/2020).
Mahkamah Agung sendiri enggan mengomentari Perpres yang baru dikeluarkan Jokowi ini.
Juru Bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro mengatakan, penaikan iuran BPJS merupakan kewenangan pemerintah.
"Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan tidak akan menanggapi, sebab hal tersebut merupakan wilayah kewenangan pemerintah," kata Andi saat dihubungi, Rabu (13/5/2020).
Namun jika mengacu pada putusan yang dikeluarkan Mahkamah Agung pada 27 Februari 2020 lalu, yang membatalkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019, Pemerintah semestinya tidak boleh menaikkan iuran dengan alasan untuk menutup defisit yang dialami BPJS Kesehatan.
Dalam salah satu pertimbangan putusannya dengan nomor registrasi 7 P/HUM/2020 itu, Mahkamah Agung menyebut bahwa defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan tidak boleh dibebankan kepada masyarakat dengan menaikkan iuran bagi peserta.
Apalagi dalam kondisi ekonomi global saat ini yang sedang tidak menentu.
Mahkamah Agung menilai defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan selama ini lebih disebabkan karena kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS.
Selain itu, kata Mahkamah Agung, ada akar masalah yang terabaikan yaitu manajemen atau tata kelola BPJS secara keseluruhan.
Inilah yang seharusnya dibenahi.