Fitri membeberkan RUU PKS memiliki sejarah yang panjang.
Ia mengatakan perjuangan untuk mengawal RUU ini sudah dilakukan oleh para aktivis dan lembaganya sejak 19 tahun yang lalu.
"Dimulai tahun 2001 hingga 2010 melakukan data analisa kasus yang ada Komnas Perempuan dan pada tahun 2014 Komnas Perempuan bersama Forum Pengada Layanan termasuk SPEK-HAM masuk bagian di dalamnya, akademisi serta pakar hukum menyusun draft naskah akdemiknya."
"Selain itu hingga sampai sekarang advokasi kami bersama jejaring layanan bagi korban kekerasan berbasis gender masih tetap dilakukan hingga di akhir tahun 2019 Rancangan tersebut menjadi prioritas DPR RI dan menjadi usulan DPR RI," jelas Fitri.
Melihat sejarah perjuangan yang panjang dan rencana mengeluarkan RUU ini dari (Prolegnas) Prioritas 2020 tentu menimbulkan kekecewaan dari berbagai kalangan.
Terkhusus bagi korban kekerasan seksual itu sendiri.
Bagi Fitri, RUU PKS tersebut sebenarnya bisa menjawab kebutuhan bagi seluruh masyarakat melihat dampak kekerasan seksual yang sangat luas.
Ia memandang selama ini belum ada peraturan khusus yang memberikan perlindungan dan jaminan bagi korban terutama korban Kekerasan Seksual.
"Rancangan Undang-undang tersebut sebenarnya melengkapi perlindungan hukum yang ada selama ini seperti UU PKDRT, KUHP, UU Kesehatan, UU Perlindungan Anak."
"Saya sangat mendukung untuk segera disahkan, bukan malah dikeluarkan dalam Prolegnas," tandasnya.
Baca: Perjalanan RUU PKS Menunggu Kepastian RUU KUHP
Komisi VIII Usulkan RUU PKS Dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2020
Komisi VIII DPR mengusulkan agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dikeluarkan dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.
Wakil Ketua Komisi VIII, Marwan Dasopang, mengatakan pembahasan RUU PKS sulit dilakukan saat ini. RUU PKS merupakan RUU inisiatif DPR.
"Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena pembahasannya agak sulit," ujar Marwan dalam rapat bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR, Selasa (30/6/2020).