TRIBUNNEWS.COM - Wacana mengeluarkan Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PSK) dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 menuai kecaman.
Diketahui usulan tersebut dikeluarkan oleh Komisi VIII DPR yang merasa kesulitan untuk merampungkan RUU ini.
Manager Divisi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Masyarakat (PPKBM) Yayasan Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) Solo, Fitri Haryani, memberikan pandangannya.
Menurut Fitri usulan yang berasal dari itu merupakan bentuk pengabaian tanggung jawab wakil rakyat.
Utamanya komitmen keadilan bagi para korban kekerasan sekusal yang ada di Indonesia.
"Dari pernyataannya bisa sampaikan bahwasanya itu alasan bagian dari pengabaian tanggung jawab wakil rakyat dan juga perwakilan negara," kata Fitri kepada Tribunnews, Rabu (1/7/2020).
Fitri menyarankan jika Komisi VIII DPR merasa kesulitan dapat melibatkan pihak lain untuk menyelesaikan RUU PKS.
Baca: Wakil Ketua DPR Tanggapi Usulan Komisi VIII soal RUU PKS, Sebut Sudah Sepantasnya Ditarik
"Kalau betul-betul memiliki komitmen atas keadilan bagi korban, terutama korban kekerasan seksual, semestinya sebagai upaya untuk pemahaman substansi kalau mengalami kesulitan bisa konsultasi dengan pakar hukum maupun akademisi, juga melakukan public hearing atau debat terbuka."
"Jadi menurut saya itu hanya alasan yang tanpa dasar saja," tegasnya.
Fitri juga ikut mengomentari alasan Komisi VIII DPR ingin mengeluarkan RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020 tidak memiliki alasan yang kuat.
Ia meminta Komisi VIII DPR untuk bisa menghitung dampak ekonomis dan psikologis dalam satu penangan kasus kekerasan seksual yang terjadi.
"Yang kemudian mempengaruhi kualitas standar kehidupan Sumber Daya Manusianya."
"Menurut saya itu hanya alasan yang dibuat-buat saja karena tidak ada alasan yuridis historis maupun akademis yang disampaikan," urai Fitri.
Baca: RUU PKS Diusulkan Ditarik, Pimpinan DPR: Rasional Karena Tuai Polemik
Sejarah Panjang Aturan Kekerasan Seksual