TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Eks Plt Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indriyanto Seno Adji menyarankan Firli Bahuri cs menindaklanjuti adanya dugaan gratifikasi dari bekas anggota DPR Bowo Sidik Pangarso ke politikus Partai Demokrat M Nasir.
Dalam persidangan tertanggal 23 Oktober 2019, terpidana perkara suap bidang pelayaran antara PT Pupuk Indonesia Logistik (PILOG) dengan PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK) itu buka-bukaan soal penerimaan uang gratifikasi dari sejumlah pihak terkait kedudukannya saat menjabat sebagai anggota DPR.
Bowo selaku mantan Anggota Komisi VI DPR fraksi Partai Golkar mengatakan, total uang Rp8 miliar yang diterimanya berasal dari beberapa sumber. Satu di antaranya, ia menyinggung nama M Nasir.
“Memang sebaiknya KPK menindaklanjuti masalah suap dan gratifikasi ini setelah putusan Bowo sudah berkekuatan tetap saja, sehingga sudah ada kepastian keterlibatan tidaknya saudara Nasir tersebut,” kata Indriyanto ketika dihubungi Tribunnews.com, Selasa (14/7/2020).
Baca: KPK Bakal Tindaklanjuti Dugaan Gratifikasi Politikus Demokrat M Nasir ke Bowo Sidik
Indriyanto menegaskan bahwa pembuktian untuk terus mengusut kasus ini hingga tuntas tidaklah mudah. Katanya, diperlukan kecermatan penyidik KPK.
“Memang diperlukan kecermatan penegak hukum KPK dan tidak bisa secara gegabah terkait pembuktian dan alat bukti tersebut,” tegasnya.
Sebelumnya, Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri memastikan pihaknya bakalan menindaklanjuti keterangan Bowo dalam persidangan.
Ali menyatakan bahwa berdasarkan fakta persidangan, jaksa penuntut umum (JPU) menilai keterangan Bowo berdiri sendiri tanpa didukung alat bukti lain, sehingga berlaku asas satu saksi bukanlah saksi.
Namun, ditegaskan Ali, jika nantinya ditemukan bukti dan fakta yang menguatkan keterangan Bowo soal aliran uang suap dari sumber lain, salah satunya M Nasir, maka KPK tak segan akan menindaklanjuti.
"Jika nantinya ditemukan bukti-bukti dan fakta yang memperkuat keterangan Bowo SP tersebut, tentu KPK akan menindaklanjutinya," kata Ali saat dikonfirmasi, Jumat (10/7/2020).
Diketahui, saat menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Bowo mengaku menerima 250 ribu dolar Singapura atau bila dirupiahkan saat kurs saat itu sebesar Rp2,5 miliar dari M Nasir yang juga duduk sebagai anggota DPR saat itu, terkait dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kabupaten Meranti.
Bowo mengaku bahwa penerimaan uang itu saat mengemban tugas sebagai anggota Badan Anggaran. Menurut Bowo, M Nasir datang menemuinya bersama dengan seseorang bernama Jesica.
"Dia minta tolong bagaimana kalau dia dibantu Kabupaten Meranti untuk dapat alokasi DAK," kata Bowo kepada jaksa KPK di Pengadian Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (23/10/2019).
Lantas, Bowo pun menyarankan agar bertemu dengan Eka Satra yang juga anggota DPR Fraksi Golkar saat itu. Menurut penuturan Bowo, Eka mengurus anggaran tersebut.
"Eka yang ngurus itu sampai bisa dana tersebut cair. Nah, setelah [Kabupaten] Meranti dapat alokasi itu, Jesica bersama Nasir datang ke ruangan saya memberikan uang Singapura yang kalau dirupiahkan kurang lebih Rp2,5 miliar," ucap Bowo.
M Nasir sendiri sudah pernah diperiksa KPK menggali informasi terkait aliran dana gratifikasi ke Bowo Sidik Pangarso.
"KPK dalami lebih lanjut pengetahuan saksi terkait dengan dugaan aliran dana pada tersangka BSP ini," ujar mantan Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Senin (1/7/2019).
Febri kala itu menyampaikan, Nasir diperiksa oleh penyidik KPK terkait dua perkara, yakni soal dugaan suap dan dugaan penerimaan gratifikasi.
Petugas KPK sebelumnya menggeledah ruang kerja Nasir di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada 4 Mei 2019.
Pengadilan Tipikor Jakarta pada 4 Desember 2019 telah menjatuhi vonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp250 juta subsider 4 bulan kurungan terhadap Bowo karena terbukti menerima suap dan gratifikasi.
Selain itu, Majelis Hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik untuk Bowo selama 4 tahun terhitung sejak terdakwa selesai menjalani masa pidana.
Vonis itu berdasarkan dakwaan pertama pasal 12 huruf a UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dan dakwaan kedua pasal 12 B UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP.
Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan JPU KPK yang menuntut Bowo 7 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan.