TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menolak disebut sebagai pihak yang kecewa terhadap hasil pemilihan presiden (Pilpres) 2019.
Ketua Komite Eksekutif KAMI Ahmad Yani mengatakan, banyak tokoh di dalam KAMI tidak terlibat pada Pilpres 2019, seperti dosen, guru, anggota DPD, dan para ulama.
"Yang kontestasi kan Pak Prabowo dan Pak Jokowi, kalau dikatakan banyak (terlibat Pilpres) tidak juga, walau kemarin ada relawan Pak Prabowo, tapi ada juga yang dukung Pak Jokowi," ujar Ahmad Yani, Kamis (20/8/2020).
Jika KAMI disebut barisan sakit hati, kata Yani, KAMI terdiri dari orang-orang yang sakit hati kepada penyelenggara negara karena tidak mampu menyelamatkan masyarakat di tengah pandemi, bukan sakit hati karena hasil Pilpres.
"Kami memang sakit hati, rakyat banyak tidak bekerja, pengangguran meningkat, tenaga kerja asing banyak yang masuk," ujar Yani.
Yani berharap pihak-pihak yang tidak sependapat dengan KAMI agar menyampaikan pendapatnya secara ilmiah, bukan malah mencari sesuatu yang tidak membangun bangsa ini.
"Kami ingin berdebat subtansi, bagaimana sektor kehidupan yang sekarang mengalami penurunan, kami juga lihat pemerintah tidak serius tangani Covid dan ada datanya, Indonesia nomor tiga dari urutan belakang," kata Yani.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding menilai deklarasi KAMI sebagai bentuk rasa kecewa jagoanya kalah Pilpres 2019.
"Pendeklarasian KAMI dapat dimaknai sebagai koalisi orang-orang yang kalah dalam Pilpres. Kalau melihat daftar nama sebagian besar adalah orang-orang yang kecewa ketika Pilpres terdahulu. Ini artinya lanjutan, lanjutan karena jagonya kalah," kata Karding.
Baca: Ditanya soal KAMI, Maruarar Jawab Sah-sah Saja untuk Check and Balances
Karding menyebut, sebenarnya KAMI dapat dikatakan berisi orang-orang yang tidak menjalankan demokrasi secara tepat.
"Dalam demokrasi itu kalau kalah ya sudah, kita mengambil posisi yang terbaik adalah mendukung pemerintah di hal-hal yang positif," papar Karding.
Dua hari lalu, para Purnawirawan TNI-Polri, yang tergabung dalam Forum Komunikasi Patriot Peduli Bangsa menemui mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Ramli. Mereka curhat soal ancaman non-militer terhadap Indonesia.
Beberapa purnawirawan yang menemui Rizal Ramli di antaranya, Letjen Purnawirawan Yayat Sudrajat, Mayjen Purnawiran Deddy Setia Budiman, Mayjen Purnawiran Robby Win Kadir, dan sejumlah Purnawirawan lainnya.
Deddy menyampaikan keresahan para purnawirawan, tentang adanya ancaman non-militer terhadap Indonesia. Yakni, di bidang ekonomi dan politik.
"Kita ketahui bersama ancaman non-militer sudah jelas sekali, di bidang ekonomi, di bidang politik," tutur Deddy.
Terutama, kata dia, mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dan Rancangan Undang-undang (RUU) Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
"Bayangkan ini Pancasila mau diubah, menjadi Trisila dan Ekasila, ini akan menimbulkan konflik horizontal dan konflik vertikal," imbuh Deddy.
Baca: Baru Nonton Video Deklarasi KAMI, Yunarto Wijaya Soroti Protokol Kesehatan : Bergidik Sendiri
Rizal Ramli mengaku sepaham dengan para purnawirawan, bahwa ancaman Indonesia saat ini adalah ancaman non-militer. Seperti persoalan ekonomi, misal masih tingginya tingkat pengangguran.
"Masalah pengangguran, kemudian masalah kebangsaan. Karena beberapa tahun terakhir ini kita dipecah terus oleh buzzer, influencer, diadu bangsa kita," kata Rizal Ramli.
Istilah Buzzer sering dipakai dalam aktivitas media sosial. Dalam konteks media sosial, arti buzzer adalah orang yang mempromosikan, mengkampanyekan, atau mendengungkan sesuatu, baik itu produk atau isu tertentu melalui postingan di akun media sosialnya.
Buzzer, menurut Rizal Ramli, juga menjadi ancaman non-militer, lantaran bisa menjadi 'alat' pemecah bangsa.
"Buzzer ini fungsinya dia memuja-memuja yang bayar dia kayak dewa, lawan-lawannya yang berbeda pendapat dihancurkan. Nah, demikian juga hukum. Hukum tidak adil. Kalau ada yang bandel-bandel, kritik sedikit ditangkap," ujar Rizal.
Menurut Rizal Ramli, hukum seharusnya tidak boleh berat sebelah. Apalagi mendiskriminasikan agama tertentu terkait hukum.
"Kalau ada yang melakukan kejahatan, hoaks atau apa, ya tangkap. Tidak perlu ditanya sukunya, ini hal-hal yang perlu dibenahi," ucap Rizal Ramli. (tribun network/sen/den)