TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk turut mengusut penyebab kebakaran Gedung Kejaksaan Agung pada Sabtu (22/8/2020) malam.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai pengusutan KPK penting untuk memastikan kebakaran tersebut murni kecelakaan atau justru telah direncanakan pihak tertentu untuk menghilangkan berkas atau barang bukti yang tersimpan di Gedung Kejaksaan Agung.
Apalagi, Kejaksaan Agung saat ini sedang menangani banyak kasus besar, salah satunya kasus dugaan suap dari terpidana perkara pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra yang telah menjerat mantan Kepala Sub-Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejagung Pinangki Sirna Malasari.
"Bukan tidak mungkin ada pihak-pihak yang merencanakan untuk menghilangkan barang bukti yang tersimpan di gedung tersebut. Jika hal ini benar, maka KPK dapat menyangka oknum tersebut dengan Pasal 21 UU Tipikor tentang obstruction of justice atau upaya menghalang-halangi proses hukum dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara," kata Kurnia.
Kurnia menegaskan, penanganan dugaan suap Jaksa Pinangki belum selesai. Kejaksaan Agung, katanya, masih berkewajiban untuk membuktikan sejumlah hal.
Salah satunya, Korps Adhyaksa belum menetapkan pihak yang menyuap Jaksa Pinangki Sirna Malasari.
"Sebab, mustahil jika sebuah tindak pidana korupsi hanya dilakukan oleh satu orang saja," kata dia.
Kurnia menegaskan, ICW sejak awal meragukan komitmen Kejaksaan Agung dalam menangani perkara yang melibatkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Terlebih lagi banyak kejadian yang menciptakan situasi skeptisisme publik.
Baca: DKI Jakarta Punya Robot Pemadam Rp 37,4 Miliar, Ini Alasan Tak Dipakai saat Kebakaran Kejagung
"Maka dari itu, ICW mendesak agar KPK segera mengambil alih penanganan perkara ini. Sebab, berdasarkan Pasal 11 UU KPK, lembaga antirasuah diberi kewenanganan untuk menangani perkara korupsi yang melibatkan penegak hukum, dalam hal ini Jaksa Pinangki Sirna Malasari," kata Kurnia.
Pendapat senada dikemukakan Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman. Dia mengatakan musibah kebakaran seharusnya tidak menjadi hambatan bagi Kejaksaan Agung memproses penanganan perkara hukum.
Boyamin mengatakan, gedung yang terbakar bukan gedung bundar. Melainkan gedung utama yang berkaitan dengan administrasi, kantor Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, ada juga ruang alat monitoring penyadapan, kantor Jamintel dan juga kantor kepegawaian dan sumber daya manusia kejaksaan. Dan tidak terkait dengan penanganan perkara.
"Masih aman saja tidak ada masalah, kan gedung bundar masih jauh, di selatan, jadi tidak ada hambatan penanganan perkara," ujar Boyamin.
Boyamin meyakini tidak ada dugaan sabotase dibalik kebakaran, sebab penanganan perkara sepenuhnya berada di Gedung Bundar yang jauh dari amukan si jago merah, sehingga dokumen kasus hukum masih utuh tersimpan di gedung tersebut.
"Karena kalau sabotase itu mestinya yang dibakar itu gedung bundar seperti itu atau gedung belakang Jampidum tapi jangan sampe ini memprovokasi orang untuk melakukan hal tersebut," imbuh Boyamin.
Baca: 25 Tahanan Kejagung yang Sempat Dievakuasi karena Insiden Kebakaran Dikembalikan Lagi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak mengambil alih kasus korupsi yang menyeret Djoko Tjandra imbas dari terbakarnya Gedung Kejaksaan Agung pada Sabtu (22/8/2020) malam.
Plt Juru Bicara Penindakan KPK Ali Fikri mengatakan lembaga antirasuah menghargai permintaan tersebut.
"KPK mendengar masukan dan pendapat masyarakat terkait agar KPK ambil alih kasus yang melibatkan Djoko S Tjandra," kata Ali.
Namun demikian, Ali mengatakan, dalam kasus yang diduga melibatkan Djoko Tjandra, KPK melalui Kedeputian Penindakan saat ini telah melaksanakan koordinasi aktif dengan Polri dan Kejaksaan.
Ali mengatakan, KPK mendorong Polri dan Kejaksaan untuk terus mengungkap dugaan keterlibatan pihak-pihak lain selain yang telah ditetapkan sebagai tersangka saat ini.
"Hingga saat ini KPK masih memantau progres penanganan perkaranya dan apabila ditemukan adanya indikasi hambatan yang dihadapi oleh Polri maupun Kejaksaan maka KPK sesuai kewenangan dalam Pasal 10A UU KPK tentu siap untuk ambil alih kasusnya," jelasnya. (Tribunnews/den)