News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Soal Penghapusan Premium dan Pertalite, Prediksi Pengamat hingga Kata Menteri ESDM

Penulis: Facundo Chrysnha Pradipha
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi SPBU Lasminingsih Wamena (saat kondisi normal)

TRIBUNNEWS.COM - Rencana penghapusan BBM Premium dan Pertalite ditinjau oleh PT Pertamina kini menjadi sorotan.

Komisi VII DPR RI pun memberi dukungan terkait penghapusan Premium dan Pertalite.

Sementara, pengamat energi mengungkapkan prediksi dampaknya bagi masyarakat.

Lalu bagaimana kata Menteri ESDM Arifin Tasrif?

Inilah fakta-fakta yang dirangkum Tribunnews.com terkait narasi penghapusan Premium dan Pertalite oleh PT Pertamina:

Baca: Rencana Penghapusan Premium dan Pertalite, Begini Penjelasan Pertamina

Dukungan Komisi VII DPR

Tribunnews.com memberitakan, Komisi VII DPR mendukung rencana PT Pertamina (Persero) untuk menghapus bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium dan Pertalite.

Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno mengatakan, penghapusan Premium dan Pertalite memang suatu yang perlu dilakukan ketika membicarakan BBM ramah lingkungan.

"Kategori ron (oktan) di bawah 90 memang tidak banyak digunakan," papar Eddy saat dihubungi Tribunnews, Jakarta, Selasa (1/9/2020).

Eddy menjelaskan, BBM beroktan di bawah 90 saat ini masih digunakan di negara-negara berkembang, yang dapat dikatakan tingkat perekonomiannya relatif rendah.

Oleh karena itu, kata Eddy, diperlukan peningkatan kesadaran semua pihak untuk menerapkan BBM ramah lingkungan dalam menjaga kelestarian bumi ini ke depannya.

"Karena memang dengan meningkatnya transportasi di jalan, kendaraan roda empat maupun dua, dan penerbangan, industri dan lainnya, saya kira penerapan BBM ramah lingkungan perlu," ucap Sekretaris Jenderal PAN itu.

Dampak Bagi Masyarakat

Artikel lain Tribunnews.com mengabarkan, pemerhati Energi Kita Barri Pratama menilai tidak selayaknya Pertamina memaksa beralih ke BBM jenis Pertamax yang notabene harganya jauh lebih mahal, sehingga menambah beban masyarakat.

"Terlebih, kemampuan daya beli masyarakat sedang terpukul di tengah wabah Covid-19. Perlu diingat oleh Pertamina dan pemerintah bahwa tugasnya bukan hanya memastikan ketersediaan BBM saja, tapi juga harus melihat kemampuan masyarakat untuk membeli," ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (14/8/2020).

Menurutnya, bukan hanya persoalan bisnis meraup untung besar dari penjualan Pertamax, namun juga harus melihat aspek pelayanan ke publik dari sisi Pertamina sebagai BUMN.

Kemudian lanjut Barri, penjualan BBM jenis Premium merupakan amanat Perpres Nomor 43 Tahun 2018 yakni BBM jenis Premium tersebut harganya dikendalikan oleh pemerintah.

Jika kebijakan penghapusan Premium dipaksakan maka hal tersebut dinilainya juga akan melanggar regulasi yang ada.

Lagipula, lanjut Barri, jikapun Perpres itu dicabut, pemerintah akan melanggar konstitusi lantaran mencabut perlindungan publik dan menyerahkannya kepada mekanisme pasar.

"Dengan Perpres 43, penentuan harga Premium di tangan pemerintah, karenanya Premium itu disebut BBM jenis penugasan. Kalau Premium dihapus, lalu apa perlindungan pemerintah kepada masyarakat atas fluktuasi pasar? Ini yang kita nilai akan melanggar konstitusi," katanya.

Karena itu, dia meminta wacana penghapusan Premium oleh direksi Pertamina agar ditinjau ulang dan mempertimbangkan dari aspek sosial ekonomi masyarakat.

"Memang bisa saja BBM tersedia, ada jenis lain, misalkan Pertamax, tapi aspek kemampuan publik membeli bagaimana? Pertamax jauh lebih mahal, apalagi wabah Covid-19 ini membuat masyarakat paceklik, bisa bahaya, jadi kira-kira itu perlu dipikirkan ulang dan matang," ujar dia.

Baca: Grab Indonesia Bantu Perluas Akses Digital 400 Ribu Pelaku UMKM

Pertanyaan Dewan

Kompas.com mengabarkan, rencana PT Pertamina (Persero) untuk menghapus produk BBM yang tidak ramah lingkungan dengan kadar Research Octane Number (RON) di bawah 91, seperti Premium dan Pertalite, menuai pertanyaan dari banyak pihak.

Hal tersebut juga dipertanyakan oleh anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Sartono Hutomo, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif.

"Pertamina akan menghapus menghilangkan Premium atau Pertalite untuk masyarakat. Saya pikir ini juga hal yang mengejutkan buat masyarakat," katanya di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (25/6/2020).

Sartono mempertanyakan apakah rencana tersebut merupakan salah satu strategi pemerintah atau Pertamina untuk menghapus subsidi BBM.

Bela Menteri ESDM

Masih dari Kompas.com, menjawab pertanyaan tersebut, Menteri ESDM Arifin Tasrif tidak mengelak, pemerintah akan mengurangi produksi Premium dan Pertalite.

Sebab, menurut dia, rencana tersebut sejalan dengan kesepakatan pemerintah untuk mengurangi emisi gas karbon, dengan memaksimalkan produksi energi ramah lingkungan.

Kesepakatan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 Tahun 2017 mengenai batasan RON.

"Kita memliki komitmen mengurangi emisi karbon dalam jangka panjang. Kita melihat Premium, kita ini satu dari enam negara yang masih menggunakan Premium," ujarnya.

Oleh karena itu, Arifin membenarkan bahwa pemerintah akan lebih fokus untuk memproduksi BBM yang lebih ramah ke depannya.

"Ke depannya akan ada penggunaan energi lebih bersih, dampaknya mengurangi beban lingkungan," katanya.

Baca: Menaker: Banyak Rekening Tidak Aktif Sulitkan Proses Transfer Subsidi Gaji Tahap Pertama

Penjelasan Bos Pertamina

Sementara dikutip dari Kontan.co.id, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan penyederhanaan produk Bahan Bakar Minyak (BBM) mengikuti ketentuan dalam Peraturan Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan No 20 Tahun 2019 yang mensyaratkan standar minimal RON 91.

Nicke memaparkan saat ini masih ada dua produk di bawah RON 91 yang masih dijual yakni Ron 88 (Premium) dan RON 90 (Pertalite).

"Kita akan mencoba melakukan pengelolaan hal ini karena sebetulnya premium dan pertalite ini porsi konsumsinya paling besar," kata Nicke, Senin (31/8)

Nicke melanjutkan, hanya tinggal 7 negara yang masih menjual produk gasoline di bawah RON 90 yakni Bangladesh, Colombia, Mesir, Mongolia, Ukraina, Uzbekistan dan Indonesia.

Menurutnya, padahal Indonesia masuk dalam kelompok negara yang memiliki GDP US$ 2.000 hingga US$ 9.000 per tahun.

Berdasarkan klasifikasi tersebut, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang memasarkan jumlah jenis produk BBM paling banyak yakni 6 jenis produk.

"Jadi itu alasan yang paling penting kenapa kita perlu mereview kembali varian BBM ini, karena benchmark 10 negara seperti ini," kata Nicke.

Di sisi lain, CEO Subholding Commercial and Trading Pertamina Mas'ud Khamid mengungkapkan, memang terjadi penurunan penjualan produk Premium sejak awal tahun 2019 hingga pertengahan 2020.

"Daily sales premium di awal 2019 di kisaran 31 ribu hingga 32 ribu kiloliter per day, Pertamax sekitar 10 ribu kl artinya penjualan premium tiga kali penjualan pertamax," terang Mas'ud,

Adapun, memasuki Agustus 2020, penjualan premium menunjukkan tren penurunan menjadi sebesar 24 ribu kl per hari sementara Pertamax meningkat menjadi 11 ribu kl per hari. 

Mas'ud melanjutkan, proyeksi penjualan ke depannya penjualan premium akan semakin menurun volumenya.

"Pada 2024 penjualan volume gasoline sekitar 107 ribu kl per hari. Premium dari 24 ribu kl per hari menjadi 13,8 ribu kl per hari," ujar Mas'ud.

Di sisi lain, Anggota Komisi VII DPR RI Paramitha Widya Kusuma mempertanyakan kesiapan kilang Pertamina seandainya jadi melakukan penyederhanaan varian produk BBM.

"Terkait penghapusan Premium dan Pertalite, bagaimana nanti kesiapan Kilang Pertamina untuk konfigurasi tersebut," ujar Paramitha dalam kesempatan yang sama.

(Tribunnews.com/ Chrysnha, Seno Tri Sulistiyono, Yanuar Nurcholis Majid)(Kompas.com/Rully R. Ramli)(Kontan.co.id/Filemon Agung)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini