Jakob Oetama di Mata Herman Darmo, Mantan Direktur Kelompok Tribun Network (2-selesai)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kompas Gramedia mulai mengelola pers daerah melalui Harian Sirwijaya Post di Palembang, pada 18 Oktober 1987.
Kemudian dan Serambi Indonesia di Aceh 9 Februari 1989 dan mendirikan Harian Surya di Jawa Timur, 11 November 1989.
Baca: Jakob Oetama di Mata Mantan Direktur Kelompok Tribun Network: Sederhana dan Pembela Orang Kecil
Koran daerah ini dikelola karena kebijakan perintah Orde Baru melalui Menteri Penerangan Harmoko
kabinetnya Soerharto, yang diduga punya kepentingan atas kepemilikan modal pada koran-koran
daerah. Pemerintah mewajibkan koran nasional turut membesarkan media lokal.
Jika media nasional tidak mau membantu koran daerah, maka pemerintah mengintervensi bisnis –
mengancam-- dengan membatasi iklan hanya 30 persen daripada konten keseluruhan.
Mau tidak mau, saat itu, ada kewajiban media nasional membantu koran-koran daerah.
Ketika itu, saya masih ingat, Pak Jakob senangnya menumpang kereta api dari Surabaya ke
Yogyakarta.
Dalam naik kereta api, saya diminta mendampingi, agar ada teman duduk, menghindari orang yang tidurnya mungkin ngorok—berada di dekatnya.
Pak Jakob saat itu, bukan tidak punya uang untuk naik pesawat. Toh, duduk sebagai Anggota MPR RI utusan golongan.
Saat mengurusi koran daerah itu, pimpinan yang lain tidak mau. Mengapa? Mereka berpikir, ngapain
urusi koran rugi.
Saat itu, koran-koran daerah memang masih rugi. Lalu mengapa Persda dihadirkan
kalau rugi? Karena kita mendukung Harmoko. Agar iklan tidak dikurangi di harian Kompas.
Harian Surya, misalnya, kata Pak Jakob, walaupun rugi, tidak apa-apa, asalkan bertahan, untuk mendapat kelangsungan hidup Kompas. Petinggi lain tidak melihat itu. Tidak setuju itu. Sehingga hanya
Pak Jakob paling rajin kunjungan ke koran daerah.
Begitulah sejarah lahirnya Persda –cikal bakal Tribun Network—oleh karena ada kewajiban dari media
nasional membantu koran-koran daerah.
Dari segi hitung-hitungan bisnis, karena merugi, dukungan politik petinggi korporat Kompas Gramedia kurang. Namun beliau tetap mengelola koran daerah karena campur Pak Harmoko pada media.
Baca: Lilik Oetama Kenang Jakob Oetama: Permintaan Gesper Bermerek Tidak Pernah Kesampaian
Bagi Tribun Network, jasa almarhum luar biasa. Saya ambil contoh, untuk media-media Tribun Network,
saat ini, kita punya koran lebih 25 dan online lebih dari 50. Mari sejenak tengok waktu ke belakang,
kurang lebih 15 tahun yang lalu.
Saat itu, masih bernama Indopersda atau Pers Daerah. Ketika itu, performa Persda masih jelek.
Saya sebagai Direktur Kelompok, saat datang rapat ke kantor pusat Kompas Gramedia di Palmerah, rasanya malu hati. Sebab seakan-akan menjadi bahan ejeken. “Ini lho, yang habisi uang kita,” nada seperti itu sering muncul dari pimpinan Kompas Gramedia terhadap Persda.
Baca: Sultan HB X : Jakob Oetama Salah Satu Tokoh yang Punya Pengaruh Besar
Dalam situasi seperti itu, hanya beliau lah, hanya Pak Jakob Oetama lah yang sangat menghargai kami.
Beliau tidak melihat semata-mata angka-angka keuangan –seberapa besar laba-- yang dipresentasikan.
Ketika Persda masih rugi pun kita dihargai. Beliau mengatakan, “kerja keras kalian koran daerah sangat
luar biasa. Mana ada waktu teman-teman di Palmerah yang kerja keras seperti kalian?” Palmerah
adalah kawasan di Kecamatan Tanah Abang, Jakarta, letak kantor pusat Kompas Gramedia.
Tahun berganti, zaman pun berubah. Persda berkembang lalu bermetamorfosis menjadi Group of
Regional Newspaper Kompas Gramedia, dan media-media merek Tribun mulai dari Tribun Kaltim, 8 Mei
2003.
Baca: Detik-detik Pemakaman Jakob Oetama Secara Militer, Jusuf Kalla sebagai Inspektur
Semula perusahaan rugi, belakangan menguntungkan. Dan ketika perusahaan sudah untung pun,
Pak Jakob mengatakan, bahwa itu berkah kerja keras manajemen media-media Tribun di daerah.
Apa maknanya itu? Tak lain adalah nilai. Beliau selalu mengingatkan nilai-nilai dalam keseharian. Beliau
tahu, bahwa awal-awal, sampai tengah perjalanan Tribun Network.
Personel yang ditugasi ke daerah, warga kelas tiga 3 dan empat. Artinya kualitas rendah. Termasuk saya dan mendiang Valens Doy (mantan wartawan Kompas dan Direktur Persda), itu ‘warga negara buangan’, kelas 3 dan nomor 4.
Jangankan kualitas 1, kita nomor tiga atau empat. Kita tidak bisa merekrut kelas 2, karena memang tidak
punya dana.
Nah, sekarang, setelah wafat Pak jakob Oetama. Kita punya banyak problem, termasuk masalah
kualitas pemberitaan Tribun.
Falfasah jurnalisme.
Siapa lagi yang akan selalu mengingatkan nilai-nilai itu, falsafah manusia, kemanusiaan berikut segala problematikanya, semangat berpihak pada orang kecil itu? (amb)