Kemudian, untuk pekerja alih daya (outsourcing), dalam UU Ketenegakerjaan ada limitasi untuk jenis pekerjaan tertentu.
Termasuk belum ada ketegasan atau kesamaan jaminan hak dan perlindungan bagi pekerja alih waktu.
"Ke depan pak, kita ingin mendudukan persoalan ini, alih daya adalah persoalan B to B, sebesar bisnis to bisnis, yang kita perlukan adalah jaminan pekerja yang bekerja di dalam alih daya tersebut, diberikan perlindungan sama dengan pekerja tetap," jelas Elen.
Elen melanjutkan, dalam UU Ketenagakerjaan, upah minimum ditangguhkan sehingga banyak pekerja menerima upah di bawah upah minimum dan upah minimum tidak bisa diterapkan pada usaha kecil dan mikro.
Ditambah terjadi kesenjangan upah minimum di kabupaten/kota.
Baca: Staf Ahli Menteri Airlangga Yakin, Ekonomi Indonesia Akan Rebound Jika RUU Cipta Kerja Sudah Jadi UU
Baca: Politikus PKB Sebut Pemerintah-Baleg DPR RI Sepakat Klaster Pendidikan Tak Masuk RUU Cipta Kerja
Di dalam RUU Cipta Kerja, upah minimum tidak ditangguhkan, upah minimum di tingkat provinsi, dan dapat diterapkan upah minimum pada kabupaten kota pada syarat tertentu, dan upah untuk UMKM tersendiri.
Elen menambahkan, pemberian pesangon terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam UU Ketenagakerjaan sebanyak 32 kali upah dianggap sangat memberatkan pelaku usaha, sehingga investor tak berminat berinvestasi di Indonesia.
Pemerintah mengusulkan ada penyesuaian perhitungan besaran pesangon PHK.
"Terakhir, subtansi pokok yang kami usulkan adalah hal-hal yang baru yang tidak diatur di dalam UU ketenagakerjaan dan ini diperlukan saat ini, saat pandemi. Kita mengusulkan adanya program baru yaitu program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Mestinya ini bisa dilaksanakan dengan cepat," pungkasnya.