1) persyaratan yang diajukan dalam permohonan Perizinan Berusaha mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
2) penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup; atau
3) kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
Berkaitan dengan “Risk Based Approach”
Menteri LHK Siti Nurbaya juga menjelaskan konsep perizinan berusaha dalam UU Cipta Kerja berbasis kepada berbasis pada model Risk Based Approach (RBA) yang pada dasarnya sudah sejalan dengan dokumen lingkungan (AMDAL, UKL-UPL dan SPPL).
Konsep RBA yang dirumuskan dalam UU Cipta Kerja hanya diperuntukan bagi pelaku usaha, disisi lain pengelolaan dampak lingkungan juga diwajibkan bagi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah yang pengaturannya diusulkan dalam bentuk persetujuan pemerintah pusat.
“Dalam UU Cipta Kerja perizinan berusaha akan memuat persyaratan lingkungan yang dihasilkan dari proses dokumen lingkungan. Persyaratan dan kewajiban lingkungan dapat dilakukan enforce dalam penegakannya,” ujar Menteri LHK.
Sedangkan fungsi persetujuan lingkungan lanjut Siti Nuraya, sebagai dasar pertimbangan pengambilan keputusan penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan (Izin Usaha/ Perizinan Berusaha) dan Komitmen pengelolaan lingkungan pelaku usaha dapat diawasi dan ditegakkan hukum (termuat dalam Perizinan Berusaha). Dalam hal ini prosesnya dilakukan melalui sistem OSS sehingga dapat dipastikan bahwa ketentuan “sebagai prasyarat dan termuat” dalam perizinan berusaha akan dapat dilaksanakan.
Dari data penilaian AMDAL oleh KPA yang berasal dari data tahun 2015 hingga 2019, jumlah rencana kegiatan yang membutuhkan layanan penilaian kelayakan lingkungan (AMDAL) pertahun secara nasional sebanyak 1000 sd. 1500 kegiatan/tahun.
Dari data ini kemudian terjadi overload beban penilaian AMDAL pada 17 tempat (Pusat, Provinsi, Kabupaten/kota) dan terdapat beberapa tempat dengan beban penilaian AMDAL yang rendah. Untuk itu maka diperlukan Komisi Penilai AMDAL yang sesuai dengan beban kerja.
Adapun dasar pemikiran penggantian sistem Komisi Penilai Amdal dengan Sistem Uji Kelayakan adalah berdasarkan evaluasi dan praktek saat ini banyak daerah yang mengartikan lain pedoman NSPK yang telah dibuat dan banyak daerah yang kemudian berinisiatif dan berinovasi membuat aturan sendiri sehingga pelaksanaan di daerah menjadi berbeda-beda, dengan penerapan sistem uji kelayakan oleh lembaga uji kelayakan maka akan tercipta standarisasi sistem.
Konsep pada RUU Cipta Kerja, Uji Kelayakan dilakukan oleh lembaga uji kelayakan yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat.
Dalam melaksanakan tugasnya lembaga uji kelayakan membentuk tim uji kelayakan untuk membantu gubernur, bupati/walikota melaksanakan kewenangan menerbitkan Persetujian Lingkungan.
Dengan mekanisme ini dapat dipastikan Uji Kelayakan dilaksanakan sesuai NSPK dan terstandarisasi. Jumlah Tim uji kelayakan yang membantu Gubernur, Bupati/Walikota disesuaikan dengan beban penilaian AMDAL di masing-masing daerah, sehingga keterlambatan penilaian AMDAL akibat tumpukan beban dapat dihindari.