"Sebelumnya Ketua Komisi X DPR sudah menyampaikan kepada kami, melalui masyarakat bahwa soal pendidikan ini di-drop dari UU Cipta Kerja. Tapi ternyata masih tetap ada, karena itu kami tentu sangat kecewa. Kami merasa dipermainkan," ucap Arifin saat dikonfirmasi, Selasa (6/10/2020).
"Jadi saya tidak tahu ini, rezim apa ini, menganggap pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan begitu," tambah Arifin.
Arifin mengatakan tidak selayaknya kegiatan pendidikan ditujukan untuk memperoleh keuntungan.
"Masa bunyinya pasal 65 itu pelaksanaan pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha. Di dalam undang-undang itu izin usaha sama dengan izin usaha. Jadi ada upaya mencari laba," kata Arifin.
Padahal selama ini, Arifin mengatakan LP Maarif NU tidak pernah mengejar keuntungan dalam menjalankan pendidikan.
Menurut Maarif, aturan pada UU Cipta Kerja mensyaratkan izin usaha untuk pembukaan sekolah yang mengarah pada pencarian laba.
Dirinya menilai aturan ini akan mengancam pendidikan di daerah dan masyarakat menengah ke bawah.
"Kami ini kan banyak di desa di pelosok. Kami segmennya masyarakat menengah ke bawah. Jadi bisa mati ilmu sekolah madrasah kami, apa negara sanggup mengisi kekosongan itu kalau nanti kami gulung tikar," tegas Arifin.
Kritik terhadap UU Cipta Kerja pun datang dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).
Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo menyayangkan masuknya pasal pendidikan pada Undang-undang Cipta Kerja.
Menurutnya, pasal ini berpotensi menjadi jalan masuk kapitalisasi pendidikan.
"Hal ini dikhawatirkan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) berpotensi menjadi jalan masuk kapitalisasi pendidikan," ujar Heru melalui keterangan tertulis, Rabu (7/10/2020).
Sama seperti yang lainnya, Heru menyoroti Pasal 26 dan Pasal 65 UU Cipta Kerja.
"Keberadaan pasal ini sama saja dengan menempatkan pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan," ucap Heru.
Baca: UU Cipta Kerja: Pembahasannya Dipimpin Politisi Gerindra, Hasilnya Dikritik Fadli Zon