Pada Pemilu Presiden 2014, Jumhur Hidayat bergabung sebagai relawan Jokowi dan menjadi Koordinator Aliansi Rakyat Merdeka (ARM).
Namun di Pilpres 2019, dia mengalihkan dukungannya kepada Prabowo Subianto.
Jumhur Hidayat sudah menjadi aktivis sejak menjadi mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB).
Dia pernah dipenjara tahun 1989 karena terlibat aksi mahasiswa yang menolak kedatangan Menteri Dalam Negeri Rudini ke kampus ITB.
Jumhur saat itu ditangkap bersama beberapa teman, di antaranya Fadjroel Rachman, Arnold Purba, Supriyanto alias Enin, Amarsyah, Bambang Sugiyanto Lasijanto, Lendo Novo, A.Sobur, Wijaya Santosa, Adi SR, dan Dwito Hermanadi.
Jumhur Hidayat juga bergabung di organisasi buruh dengan menjadi Wakil Ketua Umum KSPSI.
Di masa awal reformasi saat banyak berdiri partai politik baru, Jumhur pernah bergabung ke Partai Daulat Rakyat yang didirikan Adi Sasono dengan menjadi sekjen partai.
Di Pemilu 1999, partai ini mendapatkan satu kursi di DPR RI.
Jumhur juga pernah aktif di CIDES (Center for Information and Development Studies) pada awal 1993, sebuah lembaga pusat kajian pembangunan yang dibidani tokoh-tokoh Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI).
Jumhur Hidayat saat itu menjadi direktur eksekutif dengan Adi Sasono sebagai Ketua Dewan Direktur CIDES dan menjadi editor untuk sejumlah judul buku.
Karo Penmas Mabes Polri Brigjen Awi Setiono menyatakan, Jumhur Hidayat ditangkap Bareskrim Selasa pagi.
Sayangnya, Awi tidak menjelaskan perihal kronologi penangkapan keduanya.
Namun ada dugaan keduanya ditangkap terkait penyebaran berita bohong atau hoax terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Diberitakan sebelumnya, Kepolisian RI dikabarkan menangkap sejumlah tokoh yang diduga menyebarkan berita bohong alias hoax terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja. Penangkapan dilakukan sejak 7 Oktober 2020 lalu.