Awalnya, kop surat bertuliskan “MARKAS BESAR KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, BADAN RESERSE KRIMINAL”.
Ia juga mencoret bagian pejabat yang menandatangani surat yang awalnya bertuliskan “KEPALA BADAN RESERSE KRIMINAL POLRI”.
Prasetijo kemudian mengubahnya dengan jabatannya yaitu, “KEPALA BIRO KOORDINASI DAN PENGAWASAN PPNS”.
Nama pejabatnya pun, menurut JPU, ikut diganti oleh Prasetijo.
“Termasuk nama Kabareskrim Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo dicoret dan diganti menjadi nama terdakwa dan pada bagian tembusan dicoret atau tidak perlu dicantumkan tembusan,” bunyi petikan surat dakwaan.
Perubahan tersebut dikatakan tidak sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2017 tentang Naskah Dinas dan Tata Persuratan Dinas di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Akan tetapi, Prasetijo tetap memerintahkan Dodi membuat surat jalan sesuai keinginannya.
“Terdakwa tetap memerintahkan agar saksi Dodi Jaya membuat surat jalan seperti yang terdakwa perintahkan dengan mengatakan ‘sudah buat saja karena Biro Korwas itu saya yang memimpin’,” seperti dikutip dari dakwaan.
Selain surat jalan, Prasetijo juga disebut berperan dalam penerbitan surat rekomendasi kesehatan serta surat bebas Covid-19 untuk Djoko Tjandra.
Baca juga: Hakim Tolak Praperadilan Napoleon, Bareskrim Polri Lanjutkan Penyidikan Red Notice Djoko Tjandra
Surat-surat itu kemudian digunakan dalam perjalanan Djoko Tjandra keluar-masuk Indonesia melalui Pontianak.
Prasetijo sendiri bahkan ikut menjemput Djoko Tjandra di Pontianak pada 6 Juni 2020.
Total, Prasetijo membuat surat-surat palsu tersebut sebanyak dua kali.
Pembuatan kedua dilakukan sekitar tangal 16 Juni 2020.
Penggunaan surat-surat palsu tersebut pun dinilai merugikan Polri secara immateriil karena mencoreng nama baik institusi kepolisian.
Dalam kasus ini, Prasetijo didakwa dengan pasal berlapis. Ia didakwa memalsukan surat, dengan sengaja melepaskan atau memberi pertolongan seseorang yang seharusnya ditahan, serta menghilangkan barang bukti.