News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Jakob Oetama Meninggal Dunia

Mengenang 40 Hari Jakob Oetama, Sosok Pendiri Kompas Gramedia Dinilai Extraordinary

Editor: Anita K Wardhani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Keluarga berdoa di depan peti jenazah almarhum pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama di rumah duka, di Jakarta, Rabu (9/9/2020). Jakob Oetama meninggal pada usia 88 tahun di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading karena penyakit. TRIBUNNEWS/HERUDIN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA –Kepergian Jakob Oetama, pendiri grup Kompas Gramedia, pada 9 September 2020 lalu masih terlintas di pikiran. Sosoknya selalu diingat.

Dalam rangka memperingati 40 hari kepergian Jakob Oetama, sekaligus untuk mengenang pendiri grup Kompas Gramedia itu, sejumlah wartawan senior Harian Kompas menerbitkan dua buku yang bercerita tentang Jakob Oetama.

Buku itu masing- masing berjudul ”Jakob Oetama, Kisah Kecil Bermakna Besar” dan satu buku lagi berjudul ”Peninggalan Sang Pemula.”

Dua buku itu berisikan penggalan cerita pengalaman para karyawan Harian Kompas yang pernah bersentuhan langsung dengan sosok Jakob Oetama.

Foto dari almarhum Pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama berada di dekat jenazah saat disemayamkan di Kantor Kompas Gramedia, Jakarta, Rabu (9/9/2020) malam. Jakob Oetama meninggal dunia di usia 88 tahun setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta Utara akibat gangguan multiorgan, dan rencananya akan dimakamkan di TMP Kalibata pada Kamis (10/9). TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Sosok Extraordinary
Wartawan senior Mohammad Nasir juga turut mengenang sosok Jakob Oetama yang meninggal 18 hari sebelum ulang tahun yang ke-89.

Bagi Nasir, semua tentang Jakob Oetama sangat menarik. Jakob, kata Nasir, adalah sosok yang extraordinary (luar
biasa).

"Apa yang dikatakan dalam pendahuluan Pak Jakob itu menurut saya lebih dari itu. Pak Jakob Oetama itu sangat extraordinary. Mulai dari lahir, tempatnya, kiprahnya, pendidikannya, sampai karya-karya beliau extraordinary," ucap dia.

Nasir menyebut, bagi seorang penulis biografi, Jakob Oetama ini adalah Taman Firdaus.

Dimulai dari kronologis, tematis, mau dijungkirbalik ke tahun berapapun, semua tentang Jakob Oetama itu extraordinary. Dan semua hal tentang Jakob Oetama, lanjut Nasir, pantas diangkat menjadi yang pertama, tulisan awal, yang pasti dibaca orang dari awal sampai akhir.

Salah satunya tempat lahir Jakob Oetama yang terletak 500 meter di sebelah timur Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.

"Beliau itu dilahirkan di 500 meter di sebelah timur Candi Borobudur. Kita tahu Candi Borobudur ini memang extraordinary, luar biasa ini warisan dunia. Di situlah masa kecil Bapak Jakob itu bermain sebelum beliau bergabung dengan teman-teman sebayanya di Seminari Mertoyudan," ujar dia.

Nama Seminari Mertoyudan sendiri diambil nama besar. Seminari Mertoyudan adalah seminari tertua. "Jadi kalau ditulis seminari itu sendiri, itu sudah extraordinary.

Bukan seminari yang baru. Artinya sudah men-sejarah," ucap Nasir.

Trias Kuncahyono, wartawan senior Kompas dalam diskusi virtual 'Mengenang 40 Hari Jakob Oetama' yang disiarkan Harian Kompas, Minggu (18/10/2020). (Tangkap layar youtube Harian Kompas)

Humanisme Transendental
Kemudian, lanjut Nasir, Jakob Oetama juga digembleng dan dididik oleh para Romo yang menurut Jakob itu hebat. Sosok romo yang mengajar di Seminari Mertoyudan itu kerap diceritakan Jakob kepada jajarannya di Harian Kompas dalam berbagai rapat internal.

"Beliau juga punya pengalaman diajak boncengan ke Jogja membeli nasi untuk teman-temannya yang tinggal di asrama. Ini bentuk kepedulian yang luar biasa yang ditanamkan dari seminari untuk kemanusiaan," kata Nasir bercerita.

Apa yang ada di dalam diri Jakob Oetama adalah kemanusiaan yang disebut kemanusiaan yang beriman, atau kemanusiaan transendental.

Secara dramatis, atau untuk menarik pembaca itu, humanisme transendental itu kerap diartikan kemanusiaan
yang menjulang tinggi ke langit.

"Itu artinya yang vertikal itu, sehingga menyentuh wilayah-wilayah keimanan yang hakiki. Itu beliau yang melaksanakan sampai menciptakan atau mendirikan Kompas," jelas dia.

Humanisme yang diciptakan Jakob Oetama ini bukan sekadar cerita di mulut. Ketika Kompas berdiri pada tahun 1965, pada tahun 1966 Jakob sudah mendirikan Dompet Kompas. Dompet Kompas berdiri atas seruan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang meminta bantuan ketika Jakarta sedang dilanda banjir.

Pada tahun 2012, Dompet Kompas berubah nama menjadi Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas. Yayasan ini digunakan Jakob Oetama untuk kepentingan kemanusiaan. Salah satunya saat terjadi Tsunami Aceh 2004 silam.

"Beliau itu sering bertanya kalau kita sedang menggalang dana. Dia bertanya dapat berapa, saya kira
beliau itu tidak butuh uang, uang beliau itu banyak, tidak butuh uang pembaca. Ternyata beliau ingin tahu, sejauh mana kepercayaan masyarakat terhadap Kompas yang dititipi dana itu," kenang Nasir.

Pada 2004, bantuan dana yang disumbangkan masyarakat untuk korban bencana Tsunami Aceh mencapai miliaran rupiah. Saat itu, kata Nasir, Jakob Oetama begitu senang dan merasa bangga.

"Kita masih dipercaya masyarakat ya bung, kita peliharalah terus. Jadi jumlah uang yang terkumpul dalam dompet Kompas itu adalah representasi kepercayaan masyarakat," ucap Nasir menirukan ucapan Jakob Oetama.

Petugas membawa peti jenazah almarhum Pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama untuk disemayamkan di Kantor Kompas Gramedia, Jakarta, Rabu (9/9/2020) malam. Jakob Oetama meninggal dunia di usia 88 tahun setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta Utara akibat gangguan multiorgan, dan rencananya akan dimakamkan di TMP Kalibata pada Kamis (10/9). TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Tsunami Aceh
Nasir menceritakan, Jakob Oetama turun langsung ke lapangan saat menyalurkan bantuan dana untuk korban Tsunami Aceh. Pelaksanaan di lapangan, Jakob ikut mengontrol ketika rehabilitasi gedung-gedung yang ambruk karena Tsunami di Aceh.

"Beliau turun ke Aceh untuk meninjau progres pembangunan asrama di sana, asrama kampus. Kemudian beliau itu juga sering menelepon saya, bertanya, ada tidak orang yang menghalang-halangi penyaluran dana untuk masyarakat," ujar dia.

Nasir kemudian diminta menghadap, dan secara khusus Jakob bertanya, ada tidak ada orang-orang yang menghambat penyaluran dana untuk korban Tsunami Aceh.

"Saya tidak menyebutkan, saya mengatakan itu bagian dari prosedur yang harus dihadapi karena ada perubahan sistem dan lain-lain," ucap Nasir menirukan jawabannya saat menghadap Jakob Oetama beberapa tahun silam.

Nasir kemudian menjelaskan, anak-anak di sekolah itu tidak langsung menerima bantuan yang disalurkan Kompas. Alasannya tak lain karena harus lewat pembayaran via rekening.

"Sementara anak-anak sekolah kadang tidak punya rekening, terutama yang tinggal di kampung. Kalau dititipkan di guru atau sekolah, dengan bantuan SPP anak-anak itu terkadang tidak sampai," katanya.

"Kebingungan di gurunya, karena dia lihat rekening dia, bingung antara uangnya sudah masuk apa belum sementara titipannya itu tidak cukup banyak, ratusan ribu saat itu untuk membayar SPP," katanya lagi.

Ini salah satu kisah dari sisi kemanusiaan Jakob yang jelas terekam dalam ingatan Nasir. Ini pula yang disebut Nasir sebagai kemanusiaan yang menjulang ke langit.

"Itu perhatian dari sisi kemanusiaan untuk bantuan langsung, bantuan dana kemanusiaan
Kompas, dan beliau secara diam-diam juga membantu ke sana ke sini. Seperti itu, tidak
disampaikan kepada kami karena itu beliau sendiri yang tahu," ujar dia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini