Djohermansyah menjelaskan, politik desentralisasi era Presiden Jokowi yang diikuti dengan lahirnya Omnibus Law UU Cipta Kerja ini sebetulnya tidak menghapuskan kewenangan pemerintah daerah (pemda).
Menurutnya, pada dasarnya peran pemda masih tetap ada tetapi pemda diwajibkan mengikuti NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria) yang dibuat Pemerintah Pusat.
Baca juga: Omnibus Law Buat Desentralisasi Politik Jadi Terkendali di Era Presiden Joko Widodo
"Proses perijinan berusaha melalui OSS, sebagian kecuali bidang pertambangan ditarik ke pusat. Bila Pemda tidak bisa menjalankan kewenangan sesuai NSPK, kewenangan tersebut diambil alih pemerintah pusat," ujarnya.
Menurut Djohermansyah, UU Cipta Kerja memilki tujuan baik dalam rangka politik desentralisasi terkendala ala Presiden Jokowi.
Hal ini lantaran masih banyak proses perizinan hingga praktek jual beli terjadi di daerah.
"Mengapa? Karena adanya red tape, pelayanan perijinan berusaha tidak investor friendly, tidak ada standar, tidak terpadu, dan tidak ada kepastian penyelesaian jin, dan tata caranya rumit, terjadi praktik jual beli ijin, mengganggu penciptaan lapangan kerja," pungkas Djohermansyah.
Mardani Sebut UU Cipta Kerja adalah Kado Pahit
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menyebut hadirnya Omnibus Law UU Cipta Kerja merupakan kado pahit bagi masyarakat di tengah pandemi Covid-19.
Menurutnya, seorang pemimpin harus bisa melihat keadaan apa yang sedang dirasakan oleh masyarakat.
Baca juga: UU Cipta Kerja Menata Ulang Kewenangan Daerah Bukan Menghapusnya
Hal itu disampaikannya dalam forum Indonesia Leaders Talk bertajuk 'Omnibus Law dan Lonceng Kematian Demokrasi', Jumat (23/10/2020) malam.
"Inilah orkestrasi yang luar biasa ketika seorang leader betul-betul mampu melihat apa yang ada dan dirasakan oleh masyarakatnya termasuk betapa beratnya publik terkena dampak Covid-19," kata Mardani.
"Betapa tidak memiliki hati ketika dalam keadaan berat diberikan kado pahit Omnibus Law," imbuhnya.
Oleh karena itu, Mardani melihat bahwa karakter seorang pemimpin kultur dan sistem yang dibangun.
"Sehingga saya menggarisbawahi pelajaran termahal bagi demokrasi adalah memilih pemimpin yang betul-betul tepat," pungkas anggota Komisi II DPR RI itu.