News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

UU Cipta Kerja

UU Cipta Kerja Salah Ketik, Pakar Tawarkan Tiga Opsi Kebijakan Hukum

Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ribuan Massa buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan 32 federasi buruh menggelar demonstrasi di sekitar Patung Arjuna Wijaya, Jakarta, Senin (2/11/2020). Demonstrasi yang dilakukan serentak di 24 provinsi itu untuk mendesak pemerintah membatalkan UU Cipta Kerja serta kenaikan upah minimum tahun 2021. TRIBUNNEWS/HERUDIN

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Makassar Fahri Bachmid menyoroti perihal kesalahan pengetikan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, Kesalahan pengetikan itu diketahui setelah UU tersebut ditandatangani oleh Presiden Jokowi.

Fahmi menyebut, jika sejak semula proses pembahasan serta pembentukan UU Cipta Kerja ini dilakukan secara terburu-buru, tidak sistematis, serta kurangnya partisipatoris dengan melibatkan sebanyak mungkin stakeholders yang ada dari undang-undang “existing” sebanyak 78 UU.

"Agar sejak semula pembahasan dapat dilakukan secara optimal, teliti, cermat dan hati-hati, agar kesalahan teknis yang sifatnya administratif maupun substansial sejak dini telah dapat dideteksi serta diantisipasi untuk diperbaiki," kata Fahri Bachmid dalam keterangan tertulisnya kepada Tribunnews, Kamis (5/11/2020).

Baca juga: Pemerintah Akan Bentuk Tim dari Tokoh Masyarakat dan Akademisi Tampung Masalah pada UU Cipta Kerja

Menurut Fahri, walaupun masih terdapat 'typo' dan kesalahan teknis penulisan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 itu, naskah dan dokumen itu tetap legal sebagai sebuah produk UU dan mempunyai daya berlaku serta mengikat semua pihak (publik).

Ia menyebut, kesalahan ketik dalam UU Cipta Kerja memang tidak lazim dalam praktek ketatanegaraan yang terjadi sebelumnya, dan hal itu juga mengindikasikan bahwa administrasi pengesahan dan pengundangan UU masih belum optimal dan cermat.

"Artinya disekretariat negara mutlak diterapkan prinsip 'zero mistakes'/tidak ada kesalahan' serta asas 'principle of Corefness'/yaitu administrasi negara harus hati hati dalam tindakannya, agar tidak melahirkan kerugian bagi masyarakat, ini adalah asas dan prinsip yang mutlak dipedomani oleh penyelenggara negara," jelas Fahri.

Baca juga: Formappi: DPR Tidak Membuka Secara Luas Partisipasi Publik dalam Pembahasan UU Cipta Kerja

Menurut Fahri, ada tiga opsi kebijakan hukum yang dapat ditempuh Jokowi terkait kesalahan pengetikan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Hal ini sesuai dengan prosedur yang berlaku dan konstitusional.

Pertama, bahwa didalam UU RI No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 tidak ada pranata hukum serta pengaturan untuk tidak boleh mengubah redaksional UU sepanjang terkait dengan Typo dan Clerical Error setelah ditandatangani dan diundangkan, atau tidak ada larangan untuk itu.

Artinya jika terdapat keadaan itu, maka secara hukum Presiden dapat saja berkoordinasi dengan DPR untuk melakukan perbaikan kesalahan teknis tersebut, sepanjang tidak ada implikasi terkait perubahan norma yang telah disepakati bersama dalam sidang paripurna DPR, dan kemudian dapat diundangkannya kembali dalam lembaran negara sebagai rujukan resmi negara,

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini