TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seorang pengusaha bernama Rahmat menjadi satu di antara saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), dalam sidang lanjutan perkara gratifikasi kepengurusan fatwa Mahkamah Agung dengan Terdakwa jaksa Pinangki Sirna Malasari, di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (9/11/2020).
Dalam kesaksian, Rahmat mengaku Pinangki merupakan seorang jaksa yang penampilannya berbeda dibanding jaksa lain.
Gaya hidup Pinangki disebut glamor.
"Yang saya tahu Ibu Pinangki seorang jaksa. Tapi penampilannya, mobilnya Vellfire. Berbeda sama jaksa - jaksa lain," ungkap Rahmat dalam persidangan.
Rahmat menuturkan selain menaiki mobil mewah, Pinangki juga berpenampilan berbeda dari jaksa - jaksa pada umumnya, seperti kerap mengenakan tas mahal.
"Bedanya apa? Di BAP (Rahmat) disebut hidupnya glamor," tanya JPU.
"Penampilan Ibu Pinangki beda. Mengenakan tas segala macem berbeda," jawab Rahmat.
Diketahui dalam persidangan perkara serupa yang digelar Rabu (4/11/2020), Kepala Sub Bagian Pengelolaan Gaji dan Tunjangan pada Kejaksaan Agung Wahyu Adi Prasetyo yang bertindak sebagai saksi, mengatakan jaksa Pinangki yang menjabat Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung RI secara total menerima penghasilan Rp18.911.750.
Rinciannya, Pinangki selaku jaksa golongan 4A menerima gaji Rp9.432.300, tunjangan Rp8.757.600, dan uang makan Rp731.850 setiap bulan.
"Penghasilan resmi ibu Pinangki sebagai jaksa golongan 4A dengan gaji Rp9.432.300, dan mendapat tunjangan kinerja Rp8.757.600, dan uang makan Rp731.850 per bulan," kata Wahyu.
"Total takehome pay yang diterima dalam satu bulan Rp18.911.750," jelas dia.
Dakwaan
Pinangki Sirna Malasari didakwa menerima suap senilai 500 ribu dolar AS dari total yang dijanjikan sebesar 1 juta dolar AS, oleh Terpidana kasus korupsi hak tagih atau cessie Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra.
Suap sebesar 1 juta dolar AS yang dijanjikan Djoko Tjandra itu bermaksud agar Pinangki bisa mengupayakan pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) lewat Kejaksaan Agung (Kejagung).
Fatwa MA itu bertujuan agar pidana penjara yang dijatuhkan pada Djoko Tjandra berdasarkan putusan PK Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi.
Djoko Tjandra mengenal Pinangki Sirna Malasari melalui Rahmat.
Ketiganya sempat bertemu di kantor Djoko Tjandra yang berada di The Exchange 106 Kuala Lumpur Malaysia.
Dalam pertemuan tersebut, Pinangki mengusulkan pengurusan fatwa MA melalui Kejagung.
Djoko sepakat dengan usulan Pinangki terkait rencana fatwa dari MA melalui Kejagung dengan argumen bahwa putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 atas kasus cessie Bank Bali yang menjatuhkan pidana penjara selama dua tahun kepada Joko Soegiarto Tjandra tidak bisa dieksekusi sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/PUU-XIV/2016 yang menyatakan hak untuk mengajukan PK hanya terpidana atau keluarganya.