Majelis PK menjatuhkan kewajiban membayar uang pengganti sebesar 500.000 dolar AS dan Rp1 miliar dikurangi uang yang telah diserahkan Irman kepada KPK sebesar 300.000 dolar AS subsider 5 tahun pidana.
Andi Samsan membeberkan pertimbangan majelis PK mengabulkan permohonan PK yang diajukan Irman serta mengurangi masa hukuman keduanya.
Salah satunya lantaran Irman telah ditetapkan KPK sebagai Juctice Collaborator (JC) dalam tindak pidana korupsi sesuai keputusan Pimpinan KPK No. 670/01-55/06-2017 tanggal 12 Juni 2017.
Selain itu, Irman juga bukan pelaku utama dan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan terkait perkara korupsi proyek e-KTP.
"Sehingga penyidik dan penuntut umum dapat mengungkap peran pelaku utama dan pelaku lainnya dalam perkara a quo," katanya.
Andi menegaskan, putusan PK Irman merupakan hasil musyawarah majelis PK yang terdiri dari Hakim Agung Suhadi selaku Ketua Majelis PK serta Hakim Agung Krisna Harahap dan Sri Murwahyuni selaku Anggota Majelis.
Putusan majelis PK tidak bulat lantaran Hakim Agung Suhadi menyatakan dissenting opinion (DO) atau mempunyai pendapat berbeda.
Suhadi menilai Irman memiliki peran penting dalam korupsi proyek e-KTP yang merugikan keuangan negara sekira Rp2,3 triliun karena keduanya merupakan kuasa pengguna anggaran dalam proyek e-KTP.
"Namun demikian putusan PK perkara tersebut hasil musyawarah majelis hakim PK tidak bulat karena Ketua Majelis Suhadi menyatakan dissenting opinion. Suhadi menyatakan dissenting opinion karena Terpidana a quo memiliki peran yang menentukan yaitu sebagai kuasa pengguna anggaran," katanya.
Pengurangan hukuman terhadap Irman sempat mendapat kritikan dari Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango. Menurut Nawawi, sejatinya MA dapat memberi argumen sekaligus jawaban di dalam putusan-putusan terkait PK yang diajukan para narapidana kasus korupsi.
"Seharusnya MA dapat memberi argumen sekaligus jawaban dalam putusan-putusannya. Khususnya putusan PK, yaitu legal reasoning 'pengurangan hukuman-hukuman dalam perkara-perkara a quo," ujar Nawawi, Selasa (29/9/2020).
Menurut Nawawi, hal tersebut semestinya dilakukan MA agar tidak menimbulkan kecurigaan publik dan tergerusnya rasa keadilan dalam pemberantasan korupsi.
Katanya, maraknya penyunatan hukuman melalui upaya hukum PK setelah MA ditinggal Artidjo Alkotsar. Artidjo diketahui kini bertugas sebagai Dewan Pengawas KPK.
"Terlebih putusan-putusan PK yang mengurangi hukuman ini marak setelah gedung MA ditinggal sosok Artidjo Alkostar. Jangan sampai memunculkan anekdot hukum 'bukan soal hukumnya, tapi siapa hakimnya'," kata Nawawi.