Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) meminta Kemendikbud agar dalam usulan revisi UU Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) pasal baru berupa pengajaran kembali Pancasila di sekolah dan kampus.
Merespon hal tersebut, Wakil Ketua Umum Asosiasi Guru PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) Satriwan Salim, menilai bahwa hal itu tidak perlu karena pendidikan Pancasila saat ini sudah dimuat dalam pelajaran PPKN.
Satriawan berargumen bahwa dari segi pedagogis antara pendidikan Pancasila dan PKN ini core kompetensinya sama.
Dasar kompetensinya sama yaitu menyiapkan warga negara yang baik, demokratis, bertanggung jawab, punya nasionalisme yang berdasarkan kepada Pancasila.
Tetapi faktanya, PPKN ternyata tidak bisa membendung intoleransi.
Riset-riset oleh Wahid Foundation, Setara Institute, Universitas Nasional, UIN Jakarta menunjukkan data intoleransi di sekolah-sekolah dan kampus-kampus pada tingkat mengkhawatirkan.
Insiden pemaksaan seragam jilbab ke siswa non muslim di Sumbar dan Riau selama 2 minggu ini merupakan bukti tentang praktek intoleransi di sekolah tersebut.
Alissa Wahid dari Gerakan Gusdurian menjelaskan bahwa gerakan intoleransi dan radikalisme disebar para kader dari masjid-masjid kampus yang kemudian merambah ke sekolah-sekolah, kantor-kantor negara dan pemerintah daerah, termasuk ke BUMN-BUMN.
Kaderisasi oleh gerakan radikal di kampus-kampus (terutama kampus umum) memerintahkan setiap kader membuat “kemenangan-kemenangan kecil” kelak di tempat alumni bekerja.
Amanah tersebut kelihatan sederhana tetapi dampaknya serius, yaitu praktek eksklusifisme berwajah banyak termasuk munculnya intoleransi. Jangan lupa pula dari intoleransi kemudian bermetamorfosis menjadi radikalisme, ekstrimisme dan ujungnya terorisme.
Jika setiap kader membuat “kemenangan kecil” maka secara simultan akan berbuah sebuah kemenangan besar yaitu formalisasi islam menggantikan tata pemerintahan NKRI.
Dalam pendekatan hukum, formalisasi agama ini meliputi content (isi), structure (pelaksana), dan culture (praktek-praktek) dan ini jelas bertabrakan dengan konsep negara Proklamasi berdasar konstitusi (bukan agama) dengan 4 pilar konsensus kebangsaanya.
Di tingkat content of law misalnya, “kemenangan kecil” bisa dilihat dengan adanya peraturan-peraturan baru yang bernuansa intoleran atau diskriminatif. Di bidang struktur misalnya posisi-posisi strategis didominasi oleh pejabat-pejabat yang hanya dari satu kubu saja misalnya penguasaan masjid-masjid kementrian yang didominasi penceramah dari kelompok yang sama.