Dua keberhasilan di atas akan disusul dengan praktek-praktek (culture) berdasar nilai-nilai kubu tersebut misalnya model baju seragam, kebiasaan berbahasa (asing), dan pelarangan kegiatan-kegiatan lama yang tidak sesuai ajaran kubu tersebut.
Beralihnya karakter sekolah-sekolah negeri yang semula heterogen menjadi homogen (hanya satu agama) bisa menjadi contoh dampak serentetan kemenangan-kemenangan pada lembaga pendidikan.
Untuk mencari perimbangan dengan menghadirkan “suara lain” dari kelompok voiceless (tidak terdengar, minoritas) yaitu guru PKN yang non muslim dan perempuan di satu sekolah SMP swasta.
Secara meyakinkan, dia memendukung usulan perlunya mata pelajaran Pancasila dari BPIP.
Menurutnya, PKN memang mengajar siswa untuk melek hukum khususnya hukum tata negara dan HAM tapi belum mengajar moralitas (budi pekerti) hubungan antar warga negara yang beragam.
Singkatnya, mata pelajaran Pancasila justru akan menjawab tujuan pendidikan yaitu membentuk karakter siswa sesuai nilai Pancasila sebagaimana tujuan di UU Sisdiknas. Salah satu karakter warga negara yang dibutuhkan di masyarakat multikultural Indonesia adalah toleransi yang bersumber dari sila pertama Pancasila yang menghendaki kita beragama yang berkebudayaan atau tidak boleh egois.
Direktur Institut Sarinah, Eva K Sundari pun menilai, karakter toleransi bisa ditumbuhkan karena penghayatan Sila Ketuhanan yang Maha Esa harus dijiwai sila-sila yang lain terutama sila perikemanusiaan.
"Ini yang akan menghindarkan warga dari sikap chauvinistik, merasa kelas superior sehingga mendorong praktek-praktek pembedaan (diskriminasi) kepada kelompok lain yang berbeda," kata Eva dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (6/2/2021).
Tentu saja pengajaran Pancasila tidak bisa lagi seperti jaman Orba yang berisi serba pemaksaan/indoktrinasi yang berujung juga pada penyeragaman yang juga agenda kelompok intoleran.
Di masa demokrasi, pembentukan budi pekerti Pancasila harus demokratis misalkan menggunakan metode yang kreatif, berbasis kebutuhan lokal karena muaranya adalah siswa yang berjiwa merdeka.
Roh Pancasila adalah pembebasan karena Pancasila adalah ideologi nasionalisme yang dibangun berdasar pengalaman bangsa Indonesia yang mengalami kolonialisasi dan penindasan.
Sehingga Nasionalisme Pancasila berbeda dengan nasionalisme Hitler yang serumpun dengan ideologi aparteid yang tuna kemanusiaan.
Budi pekerti Pancasila yang toleran ini yang bisa membekali siswa menghadapi era disrupsi yang mengharuskan kita bersikap lentur atau fleksibel.
Sementara, sikap intoleran cermin pemenolakkan terhadap keberagaman (yang berkesetaraan) merupakan sikap emosional dan irasional yang tidak akan mengembangkan kapasitas siswa untuk cerdas kognitif, mental maupun spiritual.