Laporan Wartawan Tribunnews Taufik Ismail
TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA - Tenaga Ahli Utama Kedeputian Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin menilai dicabutnya lampiran Perpres nomor 10 tahun 2021 yang mengatur tentang investasi minuman keras alias miras adalah bukti bahwa Presiden aspiratif.
Presiden mendengar masukan kalangan Ormas Islam dan kalangan pemuka agama.
"Itu menunjukkan presiden bisa mendengar orangnya, responsif, aspiratif, yang punya hati. Sehingga masukan-masukan menjadi pertimbangan Presiden," kata Ali Ngabalin saat dihubungi, Minggu (7/3/2021).
Menurut Ali, awalnya ada aturan mengenai invetasi Miras bertujuan untuk membuka peluang investasi Miras di Bali, NTT, Papua, dan Manado.
Baca juga: Andi Mallarangeng Minta Penjelasan Istana Soal Moeldoko, KSP: Jangan Sedikit-sedikit Seret Jokowi
Karena menurut dia peredaran Miras di wilayah tersebut sudah ada sejak dulu.
"Di NTT ada sophi atau Sophia, Manado ada cap tikus, Kasegaran itu sudah ada berpuluh puluh tahun, sekarang diubah marketing packaging, sama ada kemungkinan investasi baik dalam negeri dan luar negeri," kata dia.
Menurut Ali, tidak perlu memberikan penilaian berlebihan kepada presiden karena adanya aturan investasi miras tersebut, sebelum kemudian dicabut.
Karena menurut dia Presiden tidak hanya memimpin masyarakat Indonesia yang muslim saja, melainkan dari berbagai latar belakang.
Baca juga: KLB Partai Demokrat yang Mendapuk Moeldoko Sebagai Ketua Umum Dinilai Membahayakan Presiden Jokowi
"Jangan terlalu berlebihan, jangan terlalu over terkait aturan tersebut," katanya.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya memutuskan mencabut lampiran Peraturan Presiden terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras yang mengandung alkohol.
Hal itu disampaikan Presiden dalam Konferensi Pers Virtual yang disiarkan dalam Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (2/3/2021).
"Saya putuskan lampiran Perpres terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras yang mengandung alkohol saya nyatakan dicabut," kata Presiden.
Aturan mengenai investasi miras diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Aturan tersebut menuai protes dari sejumlah kalangan termasuk organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam.
Baca juga: Jokowi: Jangan Ragu Vaksinasi Covid-19, Kita Berkejaran dengan Waktu
Keputusan tersebut, kata Jokowi diambil setelah menerima masukan-masukan dari ulama-ulama dan Ormas Islam. Baik itu ulama MUI, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan ormas-ormas lainnya.
"Serta tokoh-tokoh agama yang lain dan juga masukan-masukan dari provinsi dan daerah," katanya.
Sebelumnya, Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Niam Sholeh meminta pemerintah untuk mencabut aturan mengenai pembukaan investasi minuman keras.
Aturan mengenai investasi miras diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
Menurut Asrorun, desakan MUI ini berlandaskan upaya menciptakan ketertiban dan kesejahteraan masyarakat.
"Komitmen MUI jelas. Cabut aturan yang melegalkan miras untuk ketertiban umum dan kesejahteraan masyarakat," ucap Asrorun melalui keterangan tertulis, Selasa (2/3/2021).
Asrorun menegaskan bahwa sikap MUI terhadap peredaran minuman keras telah sangat jelas, yakni menolak.
Sikap tersebut telah dinyatakan dalam rekomendasi Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2009.
"Menegaskan kembali rekomendasi Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2009, sebagai berikut. Pemerintah agar melarang peredaran minuman beralkohol di tengah masyarakat dengan tidak memberikan izin pendirian pabrik yang memproduksi minuman tersebut, dan tidak memberikan izin untuk memperdagangkannya, serta menindak secara tegas pihak yang melanggar aturan tersebut," tutur Asrorun.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka izin investasi untuk industri minuman keras (miras) atau beralkohol dari skala besar hingga kecil. Syaratnya, investasi hanya dilakukan di daerah tertentu.
Adapun kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang diteken kepala negara pada 2 Februari 2021.
Aturan ini merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Pada lampiran ketiga, tercantum industri minuman keras mengandung alkohol pada daftar urutan ke-31.
"Persyaratan, untuk penanaman modal baru dapat dilakukan pada provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat," tulis lampiran III perpres tersebut.