TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) secara tegas menolak jika pilkada 2022 dan 2023 akhirnya digelar serentak pada 2024 dan bersamaan dengan pemilu nasional.
Ketua Departemen Politik DPP PKS Nabil Ahmad Fauzi lantas mempertanyakan dasar argumen pemerintah -dalam hal ini Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian- untuk tidak menggelar Pilkada 2022 dan 2023.
Pemerintah menyatakan Pilkada tak perlu dilakukan di 2022 dan 2023 karena menyangkut anggaran yang bisa dimaksimalkan untuk penanganan Covid-19.
Menurutnya hal ini bertentangan dengan pelaksanaan Pilkada 2020 silam.
"Justru itu kita menggunakan argumennya Mendagri Tito ketika kenapa menjustify pilkada 2020 tetap dijalankan," ujar Nabil dalam diskusi Polemik Trijaya FM 'Implikasi Batalnya Revisi UU Pemilu', Sabtu (13/3/2021).
Nabil juga menegaskan jika pemerintah berargumen hal ini adalah soal angggaran penanganan pandemi maka bisa diambil sesuai instrumen belanja negara yang bersumber dari APBN dan APBD.
Baca juga: Komisi X DPR Soroti Perekrutan PPPK di Daerah yang Terjadi Transisi Kepempinan Usai Pilkada 2020
"Tapi kenapa argumen itu tidak digunakan ketika pembahasan ini," tanya Nabil.
Di sisi lain, terkait dugaan akan ada keuntungan bagi partai politik tertentu jika Pilkada 2022 dan 2023 digelar Nabil menampiknya. Baginya dugaan itu hanyalah persepsi dari sejumlah pihak.
Sebab menurutnya semua partai politik memiliki kepentingan untuk mempunyai pemimpin definitif dengan Pilkada 2022 dan 2023.
"Kalau soal prasangka itu kan persepsi. artinya kita pun sebenarnya tidak ada jaminan kepala daerah itu memang mudah dalam setiap pertarungan saat ini. Kalau dikatakan jegal menjegal itu kan persepsi," tandas Nabil.