TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Peneliti psikologi forensik Division of Applied Social Psychologi Research (DASPR), Reno Fitria, menyebut pelibatan wanita dalam aksi bom bunuh diri semakin memprihatinkan.
“Ini jadi menyeramkan ya, karena perempuan mau turut aksi seperti itu. Menyembunyikan senjata, sengaja menyembunyikan DPO dan lain-lain,” kata Reno yang pernah mewawancarai perempuan-perempuan narapidana kasus terorisme.
“Kasus Makassar, dari 7 tersangka, 3 di antaranya perempuan. Satunya kakak ipar YSF yang tewas. Ini menjadikan pertanyaan ada apa dengan perempuan?” tanya Reno dalam diskusi daring di Jakarta, Rabu (31/3/2021).
Dari hasil riset lembaganya yang terlibat aktif upaya deradikalisasi bersama BNPT dan elemen pemerintah, banyak di antara wanita yang terlibat aksi dan organisasi teror itu berlatar belakang rapuh secara psiko sosial.
Baca juga: Mabes Polri Diserang Terduga Teroris, Psikolog Forensik Menilai Aksinya Sengaja untuk Bunuh Diri
Baca juga: Ini Identitas Perempuan Terduga Teroris yang Serang Mabes Polri: Beralamat di Jakarta Timur
Baca juga: Peran Tiga Wanita di Balik Aksi Bom Bunuh Diri Pasangan Suami Istri di Gereja Katedral Makassar
Baca juga: SOSOK Wanita Terduga Pelaku Bom Bunuh Diri Makassar, Pengantin Baru hingga Penjual Makanan Online
“Mereka ini fragile, rapuh. Jika ada yang menemukan kenyamanan, mereka akan ketarik ke organisasinya,” urainya.
“Ada latar belakang psikologis dari kaum perempuan yang saya temui, punya riwayat masa lalu yang akhirnya mereka menemukan sosok ideal saat bertemu teman seorganisasi,” imbuhnya.
Secara latar pendidikan, umumnya para wanita ini beragam. Demografiknya menurut Reno sangat bervariatif.
“Bahkan saya pernah menemukan pelaku lulusan S1 bahkan S2. Mereka bukan dari latar belakag ekonomi rendah,” lanjutnya.
Latar Belakang Psikologi Pelaku Umumnya Rapuh
Menurut Reno Fitria yang lulusan Unair, mereka pekerja swasta dan mapan lah. Jadi secara demografik tidak bisa mengkategorikan keadaan ekonomi tertentu itu cenderung terlibat terorisme.
Beberapa kasus profiling yang dilakukan Reno, beberapa pelaku memiliki catatan di masa kecil terkait pola asuh. Ketika kecil dirundung, dibuly dan dibuat tidak percaya diri.
Sehingga mereka akhirnya cari cara untuk mencapai penghargaan diri mereka dalam hidup. Self esteem mereka tak terbentuk, bahkan mendapatkan bahaya.
“Mereka akan mencari kelompok yang bisa mengakomiodasi keinginan mereka. Salah benar mulai terpinggirkan dari pikiran mereka,” ujar Reno Fitria.
Karena itu deradikalisasi harus dilakukan semua elemen. Semua harus bergandengan agar menjadikan orang yang teradikalisasi bisa diturunkan level radikalnya.
“Highlight, data awal harus dibawa sampai akhir. Akhirnya punya perbandingan. Kita harus cari core masalah seseorang itu mengapa sehingga terpapar radicalism,” kata Reno.
“Ini yang harus dibawa ke posisi netral. Tak bisa langsung jadikan nol. Butuh banyak elemen lain untuk deradikalisasi seseorang,” kata Reno Fitria.
Mengenai munculnya persepsi dan pandangan kasus teror di Indonesia ini konspiratif, menurut Reno secara psikis masyarakat cenderung sulit menerima sesuatu yang sebelumnya lekat dengan mereka.
Misalnya soal pelaku teror yang Islam, dari dalam diri ini ada penyangkalan (denial), agamaku tak seperti itu kok. Akhirnya yang muncul penyangkalan berulang-ulang,” jelasnya.
“Sekali menyangkap, berikutnya akan terulang. Orang seperti ini rentan dimasuki paham radikal. Mereka benci pemerintah, lalu mereka dimainkanlah. Ini sangat dekat dengan kehidupan kita,” imbuhnya.
Indoktrinasi Orang Jadi Radikal Bisa Cepat
Menurut Nasir Abbas yang pernah jadi instruktur jihadis di JI, meradikalisasi seseorang itu tidak sulit. Cara indoktrinasinya disentuh lewat pertanyaan paling sederhana.
“Simpelnya begini. Kita muslim, orang yang ingin mempengaruhi kita bertanya, Anda muslim? Kitab sucinya apa? Alquran. Sudah baca semua. Tahu gak ada perintah-perintah Allah yang belum kita lakukan,” beber Nasir.
“Ini ada ayat Quran yang memerintahkan kita membunuh orang kafir di manapun berada. Baca saja ayat ini. Ini perintah Allah, Anda muslim, Anda harus jalankan perintah Allah…..dan seterusnya . Ayat-ayat perang dipakai di tempat damai. Ini kekeliruan karena salah konteks,” lanjut Nasir Abas.
Itu menurut Nasir Abas metode paling awal dan sederhana yang dipakai perekrut dan mentor-mentor jihadis untuk meradikalisasi seseorang yang masuk kelompoknya.
Mengatasi radikalisme dan intoleransi seperti ini, Nasir Abas menyarankan pemerintah dan semua pihak melakukan sekurangnya dua langkah.
Pertama, memikirkan soal kesejahteraan mereka supaya bisa survive. “Bukan membuat mereka kaya,” katanya.
Kedua, intervensi paham. Harus ada sentuhan paham mereka dan harus diluruskan. Termasuk juga wawasan kebangsaan, toleransi. Kedua hal ini harus dibentuk.
“Ini soal ideologis. Surga itu bagi yang sudah menikah, bagi perempuan ada di bawah kaki suami. Bagi perempuan bujang ada di bawah kaki ayah,” kata Nasir Abas.
“Ini masalah keyakinan. Semua umat beragama yakin ajarannya benar. Semua pasti pegang ajaran agamanya. Lalu, terkadang dari mereka itu ada yang tidak menerima perbedaan. Ada yang memaksa harus mengikuti keyakinan mereka. Di kala ada yang memaksa, di situlah muncul kekerasan,” lanjutnya.
“Hanya segelintir di Islam yang punya paham sesat. Mereka tidak mewakili Islam, mereka sesat. Apakah orang Indonesia, Eropa, Timur Tengah dan lain-lain. Pnya keyakinan boleh membunuh sesuka hati, jelas ini bukan wajah Islam,” tandas mantan tokoh penting Jamaah Islamiyah ini.(Tribunnews.com/xna)