TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Provinsi Jawa Barat menempati posisi pertama sebagai tempat terjadinya pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Direktur Riset SETARA Institute, Halili Hasan, mengatakan, posisi pertama tempat terjadinya pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan itu ditempati Jawa Barat selama 14 tahun berturut-turut.
Jawa Barat selalu menempati posisi teratas sebagai tempat terjadinya pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan paling banyak sejak SETARA Insititute melakukan riset terkait pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan pada 14 tahun silam.
"Sejak pertama sampai sekarang, sudah 14 tahun tidak berubah. Sudah 14 tahun Jawa Barat menjadi lokus bagi terjadinya begitu banyak peristiwa pelanggaran kebebasan beragama. Kalau kita lihat saat ini grafiknya di Jawa Barat itu sama dengan akumulasi seluruh provinsi (29 provinsi),” kata Halili usai Diskusi Media bertajuk "Intoleransi Semasa Pandemi: Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan 2020" di Kawasan Jakarta Pusat, Selasa (6/4).
Baca juga: Kapolri: Paskah 2021 Aman, 60 Terduga Teroris Ditangkap, Benda Mencurigakan di Gereja GPIB Efftha
Halili menjelaskan, berdasarkan hasil temuan riset sepanjang 2020, tercatat telah terjadi sebanyak 180 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan dengan 422 tindakan.
Dibandingkan tahun sebelumnya, jumlah peristiwa di tahun 2020 mengalami penurunan, sekalipun justru mengalami lonjakan jumlah tindakan.
Pada tahun 2019, kata dia, tercatat 200 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dengan 327 tindakan.
Dari seluruh peristiwa dan tindakan tersebut, kata dia, paling banyak terjadi di Jawa Barat dengan jumlah peristiwa dan tindakan tertinggi ada 39 peristiwa.
Sedangkan sembilan provinsi lain yang tercatat menjadi tempat pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan di tahun 2020 tertinggi secara berturut-turut yakni Jawa Timur (23), Aceh (18), DKI Jakarta (13), Jawa Tengah (12), Sumatera Utara (9), Sulawesi Selatan (8), Daerah Istimewa Yogyakarta (7), Banten (6), dan Sumatera Barat (5).
"Peristiwa dan tindakan itu tersebar di 29 Provinsi di Indonesia dengan locus terbanyak itu di Jawa Barat dengan jumlah peristiwa dan tindakan tertinggi ada 39 peristiwa," kata Halili.
Baca juga: SETARA Institute: 180 Peristiwa Pelanggaran Kebebasan Beragama Terjadi Sepanjang 2020
Halili mengatakan ada empat faktor yang menyebabkan Jawa Barat menempati posisi pertama sebagai tempat terjadinya pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan selama 14 tahun.
Pertama, kata dia, adalah faktor regulasi.
Di Jawa Barat misalnya, kata dia, ada Pergub mengenai pelarangan Ahmadiyah.
"Dan itu menjadi dasar bagi kelompok-kelompok intoleran di Jawa Barat untuk mempersekusi Ahmadiyah. Itulah mengapa pelanggaran kepada (jemaat) Ahmadiyah itu pada umumnya terjadi di Jawa Barat," kata Halili.
Faktor kedua adalah politisasi agama.
Menurut Halili, harus diakui dalam setiap perhelatan politik elektoral baik di tingkat lokal maupun nasional Jawa Barat menjadi satu tdi antara empat yang paling kental dengan politisasi agama.
Ia juga menilai ada faktor ketidakmatangan perspektif kebhinekaan di kalangan politisi di Jawa Barat.
Dalam Pilkada DKI pada 2016, kata dia, banyak aktor-aktornya politik yang dipasok dari Jawa Barat ke DKI Jakarta untuk mempertegas politisasi identitas.
Baca juga: SETARA Institute: Penindakan Terukur dan Akuntabel Terhadap Teroris Dibenarkan
Politisasi identitas keagamaan tersebut, kata dia, kemudian dijadikan instrumen untuk mendapat insentif elektoral.
"Dalam Pilkada serentak misalnya peristiwa politisasi agama itu paling banyak di samping Sumatera Utara. Jadi hanya di dua daerah itu yang paling kuat dan tidak ada di daerah lain," kata dia.
Faktor ketiga, kata dia, adalah faktor sejarah.
Menurutnya ekspresi formalisme keagamaan, ke-Islaman terkait NII dan Kartosuwiryo menjadikan Jawa Barat sebagai pusatnya. Namun demikian, kata dia, faktor historis bukan menjadi faktor dominan.
"Dan narasi itu hampir dikatakan hari ini tidak berkembang di daerah lain," kata dia.
Faktor keempat yakni konservatisme ke-Islaman.
"Jadi kelompok-kelompok puritan itu banyak. Di Ciamis, Banjar, Cianjur, itu luar biasa. Kasus-masus Ahmadiyah itu kan kayak di Kuningan itu kan di Jawa Barat. Termasuk di Kabupaten Bekasi itu kan juga termasuk. Jadi problematik memang Jawa Barat," kata dia.
Baca juga: Reaksi Wali Kota Rahmat Effendi Soal Penipuan Mantan Pemain Timnas Sepakbola Sekaligus Anak Buahnya
Secara keseluruhan dari sisi waktu, peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan mengalami fluktuasi di setiap bulannya sepanjang tahun 2020 dengan angka peristiwa yang tertinggi dan drastis terjadi pada bulan Februari 2020.
Pada bulan Januari (21), Februari (32), Maret (9), April (12), Mei (22), Juni (10), Juli (12), Agustus (13), September (16), Oktober (15), November (10), dan Desember (8).
Kemudian mengacu pada detail peristiwa yang dicatat, tren pelarangan perayaan Hari Kasih Sayang (Valentine’s Day) di sejumlah daerah menjadi pemicu meningkatnya intoleransi.
Adapun dari 422 tindakan yang terjadi, kata dia, 238 di antaranya dilakukan oleh aktor negara dan 184 di antaranya dilakukan oleh aktor non-negara.
SETARA Institute juga mencatat ada 11 jenis tindakan tertinggi yang dilakukan oleh aktor negara. Sebelas tindakan tersebut di antaranya diskriminasi (71), penangkapan (21), dan pentersangkaan penodaan agama (20), pelarangan kegiatan keagamaan (16), condoning (15), penyidikan atas tuduhan penodaan agama (13), tuntutan hukum atas penodaan agama (12), penahanan atas tuduhan penodaan agama (12), pelarangan usaha (10), vonis dakwaan penodaan agama (9), dan dakwaan penodaan agama (9).
Sementara tujuh aktor negara pelaku pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan tertinggi selama tahun 2020 terdiri atas Pemerintah Daerah (42), Kepolisian (42), Kejaksaan (14), Satpol PP (13), Pengadilan Negeri (9), TNI (9), Pemerintah Desa (9).
Baca juga: Bareskrim Gerebek Sindikat Pengoplos Gas Bersubsidi di Meruya, Rugikan Keuangan Negara Rp 7 Miliar
Dari 184 tindakan yang dilakukan oleh aktor non-negara terdapat empat jenis tindakan pelanggaran utama berupa intoleransi (62), pelaporan penodaan agama (32), penolakan mendirikan tempat ibadah (17) dan pelarangan aktivitas ibadah (8). Sedangkan aktor non-negara yang melakukan tindakan pelanggaran terbanyak antara lain warga (67), ormas keagamaan (42), individu (26), ormas (7), dan institusi pendidikan (3).
Untuk korban pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan tahun 2020, kata dia, paling banyak terdiri atas kelompok warga (56), individu (47), Agama Lokal/Penghayat Kepercayaan (23), Pelajar (19), Umat Kristen (16), Umat Kristiani yang terdiri dari umat Katolik dan Kristen (6), Aparatur Sipil Negara (ASN) (4), Umat Konghucu (3), Umat Katolik (3), Umat Islam (3), Umat Hindu (3), Umat Budha (2), dan Ormas keagamaan (2).
Tercatat juga sebanyak 24 rumah ibadah mengalami gangguan di tahun 2020 yang terdiri atas Masjid (14), Gereja (7), Pura (1), Wihara (1), dan Klenteng (1).
"Pada tahun 2020 di laporan ke-14 ada kecenderungan peningkatan tindakan di masa pandemi covid-19. Jadi ini harus mendapat perhatian betul," kata Halili.(tribun network/igm/dod)