Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebanyak 50 warga masyarakat adat di Kawasan Danau Toba menjadi korban kriminalisasi, kekerasan dan intimidasi oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL) dalam tiga tahun terakhir.
Informasi terbaru, tindakan kekerasan, kriminalisasi dan intimidasi yang dialami masyarakat adat Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Sumatera Utara, pada Selasa (18/5/2021) lalu.
Hal itu disampaikan Koordinator Studi Advokasi Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Rocky Pasaribu yang bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak selama ini mengadvokasi masyarakat adat di kawasan Danau Toba. Data itu sejak 2013 hingga saat ini.
“TPL telah melakukan kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat yang ada di Kawasan Danau Toba itu berjumlah 50 orang,” ujar Pasaribu dalam jumpa pers daring “Korban Kekerasan dan Kriminalisasi Buka-Bukaan Tentang Kekejaman PT TPL (TOBA PULP LESTARI), Senin (31/5/2021).
Baca juga: Sidang Kasus Pidana Pasar Modal, Mantan Bos AISA Merasa Dikriminalisasi
Berapa luas wilayah adat di kawasan Danau Toba yang bermasalah dengan TPL?
Di awal kehadirannya, TPL mendapatkan konsesi sekitar 260 ribuan hektar. Semuanya itu berada di wilayah adat.
Baca juga: Wanita Muda Ditemukan Tewas Membusuk di Kebun Sawit, Polisi Sebut Ada Tanda-tanda Kekerasan
Namun setelah mengalami revisi kedelapan pada 2020 lalu, lanjut dia, sekarang TPL memiliki konsesi seluas 143.851 hektar, yang tersebar di 5 Kabupaten, Simalungun, Toba, Tapanuli Utara, Humbang Hasudutan dan Samosir
“Dan itu juga berada di wilayah adat masyarakat hukum adat. Tetapi yang didampingi oleh KSPPM bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, yang bisa kita jangkau dan yang terdokumentasi dengan baik hanya 20.747, berada di 23 komunitas atau yang tersebar di 5 Kabupaten, Simalungun, Toba, Taput, Humbang Hasudutan, dan Samosir,” jelasnya.
Lima puluh masyarakat adat di Kawasan Danau Toba yang dikriminalisasi dan mendapat tindakan kekerasan itu bersama semua masyarakat adat tengah berjuang untuk mempertahankan tanah adat atau ulayat mereka yang masuk dalam konsesi TPL.
Dari puluhan korban, seorang ibu bernama Rusliana Marbun (57) dari Desa Matio satu contohnya. Rusliana menjadi korban kriminalisasi TPL ketika mempertahankan tanah adatnya. Ia harus menjalani persidangan hingga menjalani vonis penjata selama 3 bulan.
“Saya dibilang melukai mereka. Kunci mobilnya (humas TPL) yang digoreskan ke lehernya sendiri. Ada yang lihat. Tetapi mereka lapor ke Polsek. Terus saya dipanggil untuk memberikan keterangan. Kemudian saya dijemput paksa untuk memberikan keterangan. Baik saya, saya ikut,” ujar Rusliana.
“Datanglah orang TPL bilang, sudah lah berdamailah. Tetapi kasih sajalah tanah itu. Jangan ada lagi gugatan dari kalian, biar kucabut pengaduan.’ Itulah kata orang TPL saat itu. Aku sampai di rutan selama tiga bulan. Saya divonis tiga bulan,” tuturnya.
Kriminalisasi dan kekerasan juga dialami Pdt Haposan Sinambela, Mangitua Ambarita, Thompson Ambarita dari Sipahoras dan Jusman Simanjuntak.