Seperti Rusliana, mereka juga terus berjuang meskipun harus merima kekerasan dan kriminalisasi hingga harus dipenjara demi memperjuangkan tanah adat mereka di wilayah konsesi TPL.
“Waktu saya ditangkap, saya tanya apa kesalahan saya. Dibilang karena saya seorang provokator. Saya bilang saya bukan provokator karena saya adalah anak asli dari Desa Pandumaan-Sipituhuta, yang ikut punya warisan dari nenek moyang kami. Jadi kami mempertahankan hak berupa tanah adat yang ada di Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan,” kisah rohaniawan ini.
“Karena semua rakyat mendesak kami dibebaskan ke polres, maka kami dipindahkan ke polda. Ditahan kami di sana kira-kira sebelas hari.”
Setelah sebelas hari dipenjara di Polda Sumatera Utara, para petinggi gereja di seluruh Indonesia meminta Polisi untuk membebaskannya karena dinilai tidak melakukan kesalahan apapun.
“Pada waktu itu semua pihak gereja yang ada di Indonesia, petinggi-petinggi gereja, sampai Pastor dan Uskup datang ke Polda dan membicarakan agar kami dibebaskan. Karena kami tidak melakukan kesalahan.”
“Waktu itu ada mobil yang kena bakar di tombak (hutan-red) itu, itu adalah rekayasa. Ada yang melihat bahwa orang TPL yang disuruh membakar mobil tersebut agar kami ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara,” kisahnya.
“Dipikir mereka, dengan kami ditangkap dan dipenjara, masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta menjadi takut dan tidak mau berjuang lagi mempertahankan tanah adatnya. Saya bilang, sampai dimana pun kami tidak takut karena kami tidak salah. Kami hanya memperjuangkan tanah adat dari nenek moyang kami,” tegasnya.
Kriminalisasi, kekerasan dan intimidasi juga dialami masyarakat di Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras), Desa/Nagori Sihaporas, Kecamatan Pamtang Sidamanik, Kabupaten Simalungun.
Mangitua Ambarita, Thompson Ambarita dari Sipahoras menjadi diantara korban kekerasan dan kriminalisasi pihak TPL saat memperjuangkan tanah adat mereka.
Mangitua Ambarita harus ditangkap polisi dan dipenjara pada 2004 lalu. Berdasarkan dokumen, polisi menangkap Mangitua Ambarita dan Parulian Ambarita, pada 6 September 2004.
Delapan tahun silam, kenang dia, satu sore, sekira pukul 16.00 WIB, Mangitua bersama dua dari lima anak-anaknya, bercocok tanam di areal pertanian, yang mereka klaim sebagai tanah adat Sihaporas.
Sore itu, mereka berladang. Kegiatannya menyiram tanaman palawija dan kopi yang kekeringan karena kemarau panjang.
Namun mendadak datang sekitar 20 personil gabungan Brimob Polri bersama staf PT Toba Pulp Lestari (dahulu PT Inti Indorayon Utama).
Dia tidak menduga akan ada penangkapan. Sebab pendudukan lahan dilakukan rakyat, setelah ada proses panjang sekitar tahun 1999 sampai 2001, ke Pemkab Simalungun, DPRD Simalungun dan TPL untuk meminta pengembalian tanah adat ke tangan rakyat.