News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pasal Penghinaan Presiden

ICJR Nilai Pasal Penghinaan kepada Presiden Sangat Berbahaya, Ada Ketidakpastian Hukum

Penulis: Shella Latifa A
Editor: Citra Agusta Putri Anastasia
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu, menilai pasal penghinaan kepada presiden sangat berbahaya pada program Sapa Indonesia Pagi, Jumat (11/6/2021).

Seperti diketahui, pasal penghinaan presiden di RUU KUHP dikategorikan sebagai delik aduan, dimana hanya Presiden yang bisa melaporkan.

Baca juga: Pasal Penghinaan Presiden Dikhawatirkan Timbulkan Kecemburuan Pada Profesi Lain

Lebih lanjut, Erasmus menyoroti kabar bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak mau melaporkan warga yang menghinanya.

Erasmus mempertanyakan, bagaimana penghinaan itu terjadi bukan saat Jokowi menjabat sebagai Presiden.

"Jangan karena pak Jokowi tidak melapor, atau kepada Presiden siapa tidak melapor sehingga pasal ini dianggap tidak berbahaya kalau delik aduan."

"Kalau presidennya baperan misalnya, gampang tersinggung kayak saya besok jadi presiden. Saya laporin semua orang yang menghina saya?" ucapnya.

Wamenkumham: Pasal Penghinaan terhadap Presiden dalam Draf RUU KUHP Beda dengan yang Dicabut MK

Diberitakan Tribunnews sebelumnya, Draf Rancangan Undang-Undang KUHP telah dibuka kepada publik.

Dalam draf itu, diatur pula pasal-pasal terkait penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. 

Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej, menyebut, pasal yang menyerang harkat dan martabat presiden/wakil presiden tersebut berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Putusan yang dimaksud Eddy adalah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 013-022/PUU-IV/2006 telah menghapus pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Jadi pasal penghinaan itu adalah pasal penghinaan terhadap kepala negara, yang pertama, itu berbeda dengan yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi," kata Eddy di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/6/2021).

Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum Wakil Menteri Hukum dan HAM. (Ilham Rian/Tribunnews.com)

Baca juga: Soal RUU KUHP, LBH Jakarta Singgung Resolusi PBB

Eddy menjelaskan, perbedaan pasal tersebut adalah jenis delik.

Dia menyebut, delik yang dihapus MK adalah delik biasa. Sementara itu, dalam RUU KUHP, diganti menjadi delik aduan.

"Kalau dalam pembagian delik, pasal penghinaan yang dicabut oleh Mahkamah Konstitusi itu merupakan delik biasa. Sementara dalam RUU KHUP itu merupakan delik aduan," ucapnya.

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini