TRIBUNNEWS.COM - Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice (ICJR), Erasmus Napitupulu, menilai pasal penghinaan kepada presiden sangat berbahaya.
Menurutnya, pasal penghinaan presiden akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Hal itu diungkapkan Erasmus mengingat adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 013-022/PUU-IV/2006 yang menghapus pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Erasmus menjelaskan, dalam putusan itu, MK secara jelas menyatakan bahwa pasal penghinaan presiden tak boleh diatur dalam Rancangan Undang-undang (RUU) KUHP.
"Pasal yang mirip atau sama dengan itu tidak boleh diatur dalam pembaharuan KUHP. MK secara ketat menyatakan bahwa itu tidak boleh di RUU KUHP," ucapnya dalam program Sapa Indonesia Pagi Kompas TV, Jumat (11/6/2021).
Baca juga: Ada Pasal Penghinaan Presiden, Kontras: Hari Ini Kita Kembali ke Era Orde Baru
Maka, lanjut Erasmus, seharusnya pemerintah tunduk kepada putusan konstitusi itu.
Ia pun menjelaskan alasan dibalik penghapusan pasal penghinaan presiden dalam putusan MK itu.
Kata Erasmus, Presiden sebagai pribadi individu bisa saja mendapatkan penghinaan, lalu melaporkannya ke jalur hukum.
Namun, jika penghinaan ini dikaitkan dengan jabatan Presiden akan ada ketidakpastian hukum di dalamnya.
Ia menyinggung bagaimana jika nantinya ada kritikan hingga protes kepada Presiden dari warganya.
Baca juga: MRP Kritik Revisi UU Otsus Papua, Kenapa Hanya Dua Pasal yang Direvisi?
"Kalau presiden terhina sebagai individu, ya silahkan melaporkan secara individu."
"Tapi, kalau dihina sebagai jabatan, MK bilang tidak boleh. Karena apa? karena jabatan itu kepala pemerintahan di Indonesia maka kemungkinan diprotes dikritik."
"Yang mana itu menimbulkan ketidakpastian hukum bisa saja terjadi, sehingga MK hapuskan pasal itu," tutur Erasmus.
"Bagi kita masyarakat ini sangat berbahaya," imbuh dia.