TRIBUNNEWS.COM - Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum dan Direktur LKBH FH Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Dr. Agus Riwanto menilai, tidak sulit bagi koalisi partai pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengamandemen pasal terkait masa jabatan presiden di UUD 1945.
Menurut perhitungan Agus, jumlah anggota MPR juga DPR dan DPD yang mendukung pemerintahan Jokowi itu banyak.
Lebih dari 50 persen plus satu yang dipersyaratkan agar bisa menyetujui amandemen UUD 1945.
Sehingga hal tersebut akan memudahkan Jokowi untuk mengamandemen Pasal 7 UUD 1945 yang mengatur tentang masa jabatan presiden dua periode.
Baca juga: Pimpinan MPR Bantah Ada Pembicaraan Jabatan Presiden 3 Periode dengan Pihak Istana
"Kalau kita tadi bahas konteks politiknya, tidak sulit bagi koalisi Jokowi untuk mengamandemen ini. Karena hitungan saya jumlah anggota MPR yang juga DPR dan DPD itu pendukung pemerintahan Jokowi itu lebih dari itu, lebih dari 50 persen plus satu. Jadi sangat mudah untuk mengamandemen itu sebenarnya," kata Agus kepada Tribunnews.com, Selasa (22/6/2021).
Namun dalam wacana jabatan presiden tiga periode ini, persoalannya bukan mudah atau tidak mudahnya, melainkan soal legitimasi politik.
Maksud dari legitimasi politik ini adalah Pasal 7 UUD 1945 merupakan ruh dari gerakan reformasi 1998.
"Tetapi persoalannya bukan mudah dan tidak mudah ya, ini soal legitimasi politik. Yang saya maksud legitimasi politik itu adalah, sebenarnya yang dimaksud Pasal 7 UUD 1945 itu adalah ruh dari gerakan reformasi 1998," tambahnya.
Baca juga: Ada Wacana Presiden Tiga Periode, Pengamat: Ide yang Dorong RI Menuju Kemunduran Demokrasi
Diketahui pada saat terjadi reformasi 1998, Soeharto dijatuhkan karena telah berkuasa selama 32 tahun lamanya.
Setelah reformasi berhasil, hal yang pertama dilakukan adalah membatasi masa jabatan presiden dengan mengubah pasal 7 UUD 1945.
"Pada saat kita melakukan reformasi 1998, menjatuhkan Soeharto itu setelah dia berkuasa 32 tahun."
"Itu yang pertama kali dilakukan adalah membatasi masa jabatan presiden, dan itu kita lakukan perubahan Pasal 7 itu kan," tegas Dosen FH UNS ini.
Baca juga: Presiden 3 Periode, Gerindra: Saat Ini yang Diperlukan Menekan Laju Covid, Bukan Amandemen UUD 1945
Bertentangan dengan Semangat Reformasi
Agus menuturkan, jika Pasal 7 UUD 1945 kembali direvisi atau diamandemen agar presiden bisa menjabat selama tiga kali periode, maka menurutnya itu akan bertentangan dengan semangat reformasi 1998.
"Kalau kemudian itu akan direvisi lagi, diamandemen supaya presiden bisa menjabat tiga kali. Menurut saya ini akan bertentangan dengan semangat reformasi 1998," tegasnya
Hal itu dikarenakan, kekuasaan yang lama cenderung terjadi penyalahgunaan.
Baca juga: Soroti Pihak Goreng Isu Presiden Jokowi 3 Periode, Waketum MUI: Kasihan Saya dengan Bangsa Ini
Seperti yang sering disebutkan oleh Lord Acton dalam tradisi tata negara.
Power tends to corrupt, kekuasaan yang lama itu cenderung korup.
"Karena kekuasaan yang lama cenderung terjadi penyalahgunaan. Itu yang dalam tradisi tata negara sering disebut Lord Acton."
"Power tends to corrupt. Kekuasaan yang lama itu cenderung korup dan menyalahgunakan kekuasaan," pungkasnya.
Baca juga: Sudah Sesuai Konstitusi, Fraksi Golkar MPR Dukung Jokowi Tolak Jabatan 3 Periode
Belum Ada Pembicaraan Wacana Presiden 3 Periode di MPR
Diwartakan Tribunnews.com sebelumnya, wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode terus menjadi pembicaraan di masyarakat.
Bahkan muncul pula komunitas yang mendukung Jokowi agar dapat maju kembali di Pilpres 2024.
Terkait wacana itu, Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani menegaskan, sampai saat ini tidak ada pembicaraan mengenai perpanjangan masa jabatan presiden di MPR.
"Di MPR, sampai saat ini tidak ada pembicaraan, diskusi awal, apalagi mewacanakan soal-soal itu," ujar Arsul, kepada wartawan, Rabu (23/6/2021).
Politikus PPP itu mengatakan pembicaraan yang terjadi di MPR justru hanya terkait pengkajian kemungkinan amandemen UUD 1945 terbatas perihal Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
Baca juga: Wacana Jokowi 3 Periode, Politikus PAN: Jangan Bikin Kegaduhan
"Yang sedang dilakukan kajian oleh Badan Pengkajian MPR hanyalah soal kemungkinan amandemen terbatas, untuk memasukkan keperluan adanya PPHN (Pokok-Pokok Haluan Negara) ke dalam konstitusi kita," terang Arsul.
Arsul menjelaskan bahwa pengkajian tersebut merupakan rekomendasi MPR dari periode sebelumnya atau periode 2014-2019.
Sehingga ia menegaskan kembali bahwa tidak ada agenda lain yang dibahas.
"Tidak ada agenda lain terkait wacana amandemen UUD NRI Tahun 1945 selain dari soal PPHN itu, yang merupakan bagian rekomendasi dari MPR periode lalu," tandasnya.
(Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani/Vincentius Jyestha Candraditya)