Perbuatan melanggar ketentuan agama sejatinya termasuk perbuatan keji, termasuk dalam konteks seksualitas.
"Seharusnya orang yang ketahuan berbuat zina perlu mendapatkan sanksi tegas, agar dapat meminimalisir tindakan keji tersebut," jelasnya.
Ketiga, Pasal 18. Fraksi PAN menilai, ketentuan dalam Pasal 18 RUU PKS perihal pemaksaan pelacuran sebagai kekerasan seksual sangat juga ambigu dan multitafsir.
Fraksi PAN menilai pelacuran, baik yang dipaksa maupun tidak dipaksa, tetap dilarang, baik menurut agama maupun hukum positif.
Baca juga: Awalnya Mengira Kena Prank, Motor Milik Staf Diskominfo Bondowoso Ternyata Hilang Dicuri Maling
Keempat, Pasal 11 ayat 3. Fraksi PAN berpandangan bahwa pengaturan terkait kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam agar tidak terjadi kesalahpahaman terkait ajaran agama yang mengatur hubungan suami istri dan anak dalam kehidupan keluarga.
"Bahwa pengaturan kehidupan keluarga juga sudah diatur dalam UU no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Jika hal ini dianggap tidak memadai maka yang perlu dilakukan adalah Revisi UU Perkawinan," kata Desy.
Lebih lanjut, Desy mengimbau agar seluruh stakeholder menjelaskan secara terbuka dan terang benderang kepada masyarakat.
Sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dan misinterpretasi terhadap substansi undang-undang tersebut.
"Jika tetap dipaksakan untuk dibahas tanpa penjelasan dan penyesuaian substansi yang memadai, yang bisa diterima semua pihak, maka secara terpaksa Fraksi PAN akan menolak pengesahan RUU PKS tersebut," tandasnya.