"Jadi pembelajaran harus demand driven dan kurikulum kualitas vokasi harus berbasis outcome base education di mana outcomenya harus dirumuskan sejak awal," ujar Arief.
Selain itu perlunya assurance of learning dikembangkan di Pendidikan vokasi.
"Sehingga jika nanti para lulusan belum capai learning outcome kita harus kontemplasi apa yang yang dilakukan untuk mengembangkan learning outcome yang benar-benar dibutuhkan oleh industri baik learning outcome bersifat hardskill maupun softskill," katanya.
Intinya, katanya, adalah bagaimana ke depan Pendidikan vokasi bisa menyehatkan BUMDes, baik dari sisi organisasi, finansial, akses market, dan network.
"BUMDes yang kuat harus sehat operasinya, sehat pasarnya, sehat organisasinya, dan sehat jejaringnya," ujarnya.
Namun Arief mengingatkan bahwa Pendidikan vokasi sangat berbeda, sehingga tergantung pada masing-masing Lembaga untuk mengembangkannya disesuaikan kebutuhan masyarakat desa.
Hal senada diungkapkan Rika Fatimah, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gajah Mada.
Ia melihat perspektif ekonomi dan besaran BUMDes sangatlah berbeda dengan usaha lain, seperti UMKM.
"Ia bukanlah UMKM, BUMDes memiliki karakteristik luar biasa, inilah ekonominya Indonesia," katanya.
Menurutnya, Indonesia harus berani menunjukkan kebaruannya, benar-benar berpijak di kaki sendiri karena apa yang dilakukan di negara lain belum tentu cocok dengan di Indonesia.
"Model bisnis BUMDes harus berbeda dengan kebanyakan UMKM," ujarnya.
Baca juga: Sambangi Tabanan, Gus Menteri: BUMDes Kunci Pemulihan Ekonomi
Ia mengatakan, produk unggulan BUMDes harus terbatas, supaya tercipta ikon-ikon khas Indonesia, suatu kebaruan dan harus berkelanjutan.
"Kalau BUMDes ikut-ikutan melakukan semua, akhirnya nothing," ujarnya.
Karena itu, ia melihat riset yang sangat dekat dengan vokasi, tentu akan menghasilkan program yang tepat. Namun riset terapan perlu memperhatikan keunikan masing-masing BUMDes.