"BUMDes mewadahi dan membuat bagaimana ekosistem di desa subur untuk UMKM berkembang dan bukannya head to head dengan UMKM," katanya.
Eko menegaskan bahwa pendidikan dan riset terapan vokasi yang akan membantu masyarakat desa harus menyesuaikan karakter desa, yang 60 persen masyarakatnya lulusan SD dan SMP dan dilakukan secara bertahap.
Ia melihat banyaknya desa di Indonesia, maka perlu mengubah system role model menjadi Gerakan secara bersamaan desa.
"Libatkan dunia usaha untuk proses pendampingan cepat. Create satu model berbasis common interest antara masyarakat desa, dalam hal ini BUMDes dan dunia usaha," katanya.
Senada, Wamendes Budi menekankan, setiap desa mempunyai karakteristik sehingga membangunnya tidak bisa dengan single model.
"da perbedaan luasan kewilayahan dan jumlah orangnya," katanya.
Ia mengatakan, BUMDes baru 5-6 tahun jadi model ekonomi desa, yang championnya masih terbatas. Belum sampai 100 jadi role model karena sebagian besar kembali pada masalah SDM.
"Karena itu, Pendidikan vokasi berbasis kekuatan lokal sangat penting," katanya.
Menurut Budi, idealnya BUMDes harus menjadi pusat perdagangan dan distribusi desa.
Namun masalahnya ada di level persiapan dan komitmen pemangku kepentingan di desa. Misalnya perdebatan apakah BUMDes akan berorientasi keuntungan (profit) atau memberi manfaat (benefit).
Ia menilai, perlu ditekankan paradigma bahwa menanamkan uang di BUMDes bukan uang hilang, melainkan menjadi investasi.
"Kesadaran ini harus ditumbuhkan. Setiap rupiah dari dana desa bukan uang hilang tapi investasi, sehingga dalam jangka menengah dan Panjang menjadi keuntungan masyarakat des aitu sendiri," katanya, seraya menambahkan, apalagi BUMDes sudah jelas badan hukumnya. (Tribunnews.com/Hasanah Samhudi)